INTEGRASI ILMU FORENSIK DENGAN BUDAYA DI SULAWESI SELATAN
OLEH
KELOMPOK 2
PRODI
KEPERAWATAN
FAKULTAS
KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Saat ini era globalisasi tidak bisa terhindarkan lagi. Tenaga
keperawatan profesional Indonesia perlu mempersiapkan diri di era
globalisasi karena batas negara sudah tidak ada. Saat ini kasus-kasus hukum dan
pidana makin marak di Indonesia sehingga para profesional keperawatan perlu
terlibat langsung untuk memberikan kontribusi secara profesional dalam
menghadapi masalah bangsa Indonesia tersebut.
Ilmu forensik merupakan salah satu
disiplin ilmu yang menerapkan ilmu kedokteran klinis sebagai upaya penengakan
hukum dan keadilan (Budiyanto, 1999). Seiring perkembangan waktu, telah terjadi
banyak kemajuan dalam ilmu kedokteran Forensik dan ilmu kedokteran Forensik
berkembang menjadi ilmu yang mencakup berbagai aspek ilmu pengetahuan dan dalam
ilmu kedokteran Forensik identifikasi merupakan hal yang penting (Amir, 2008).
Identifikasi merupakan cara untuk mengenali
seseorang melalui karakteristik atau ciri – ciri khusus yang dimiliki orang
tersebut, dengan cara membandingkannya selama orang tersebut masih hidup dan
setelah meninggal (Amir, 2008).
Salah satu cara identifikasi adalah
dengan antropometri yaitu, pengukuran
bagian tubuh dalam usaha melakukan identifikasi. Bertillons memakai cara
pengukuran berdasarkan pencatatan warna rambut, mata, warna kulit, bentuk
hidung, telinga, dagu, tanda pada badan, tinggi badan, panjang dan lebar
kepala, sidik jari, dan DNA (Amir, 2008).
Peningkatan kasus kriminal semakin
meningkat dengan motif dan modus yang beragam, hal ini menyebabkan semakin
pentingnya ilmu Forensik.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah
pengertian budaya?
2.
Apakah
pengertian ilmu forensik?
3.
Bagaimana
forensik dalam perspektif budaya?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian budaya
2.
Untuk
mengetahui pengertian ilmu forensik
3.
Untuk
mengetahui ilmu forensik dalam perspektif budaya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Budaya
Menurut
Swartz (1980), “Kebudayaan” didefinisikan sebagai “... cara meyakini (believing),
mengevaluasi (evaluating) dan melakukan (doing) yang dimiliki
bersama dan diwariskan dari generasi ke generasi, dari orang ke orang dalam
kelompok, melalui proses pembelajaran”. Selain itu, “kebudayaan” dalam Rosman
(2009) “... perilaku,
simbol, keyakinan, gagasan-gagasan manusia dan obyek buatan manusia ... (yaitu)
“cara hidup” (way of life) orang-orang”. Kemudian menurut Twhaites
(1994), Dalam konteks yang lebih kontemporer, “kebudayaan” didefinisi-kan
sebagai “... kumpulan proses sosial yang melaluinya makna-makna diproduksi,
disirkulasikan, dan dipertukarkan”. Dapat dilihat, bahwa kebudayaan berkaitan
dengan pikiran, keyakinan, tindakan, simbol, objek, karya, dan makna yang
diproduksi manusia.
Dalam Kaplan (1972), Sebagai sebuah sistem (cultural
sys-tem), kebudayaan dibangun oleh subsistem kebudayaan, yaitu ideologi,
struktur sosial, teknoekonomi, dan personalitas. Subsistem “teknoekonomi”
menunjuk pada perleng-kapan dan pengetahuan teknis atau material, yang dibangun
melalui proses produksi, dis-tribusi dan konsumsi. Subsistem “ideologi”
melingkupi keyakinan, filsafat, nilai, dan pengetahuan. Subsistem “sosial”
menunjuk pada pola-pola perilaku sosial, tindakan so-sial, interaksi sosial
yang bersifat normatif dan institusional. Subsistem “personalitas” menunjuk
pada kondisi psikososial, yaitu konseptualisasi individu dalam hal
perso-nalitas sosialnya.
Sikap (attitude)
dan nilai-nilai (va-lue)—sebagai subsistem ideologi—merupakan faktor
penting dalam menentukan pikiran, tindakan, perilaku, dan karya manusia. Menurut
Harrison (2000), dalam konteks kehidupan sosial, politik, budaya, dan keagamaan
yang lebih luas, ada nilai atau sikap yang dapat memengaruhi secara negatif
evolusi institusi politik demokratis, pengembangan ekonomi, dan keadilan sosial
(social justice). Dalam konteks kejahatan, ada nilai-nilai tertentu yang
hidup di dalam sebuah kelompok atau masyarakat, yang mendorong anggotanya
melakukan aneka kejahatan: materialisme, keserakahan, individualisme.
Sebaliknya ada nilai-nilai yang meredam tindak kejahatan: kebersamaan,
komunalitas, dan persaudaraan.
Meskipun ada
sifat tertentu yang universal, kebudayaan dalam banyak aspek bersifat relatif,
kontesktual, dan heterogen. Hal ini membawa kita pada dua pandangan kebudayaan
yang saling bertentangan. Pertama, pandangan “universalisme budaya”
(cultural universalism), yang melihat bahwa bentuk, prinsip, dan nilai itu
bersifat uni-versal, sebagai produk kebudayaan superior. Kedua, pandangan
“relativisme budaya” (cultural relativism), yaitu gagasan bahwa setiap
kebudayaan unik dan berbeda, sehingga tak ada satupun yang dianggap superior.
Dalam konteks kejahatan dan hukum, ada orang yang meyakini bahwa membunuh
manusia lain secara universal harus dihukum; sementara ada pandangan bahwa
membunuh itu “baik” dalam konteks upacara atau ritual.
Menurut
Baron (2006), Perbedaan budaya dapat menjadi “berkah”, meskipun dalam banyak
kasus menjadi sumber konflik, pertikaian, dan kekerasan. “Konflik” adalah
kondisi yang tercipta ketika “perbedaan budaya” menjadi sumber kemarahan, ketersinggungan,
kekalapan. Perbedaan kultural tertentu sering dianggap sebagai tantangan,
serangan atau penghinaan terhadap sesuatu yang diyakini oleh sebuah kelompok,
baik terkait dengan sentimen individu maupun identitas bersama. Perbedaan gaya
pakaian, gaya makan, gaya bicara, cara berusaha, cara ibadah, atau cara
tinggal, sering menjadi sumber konflik dan pertikaian antarbudaya. Sering
terjadi sebuah kasus pembunuhan yang dilatari perbedaan gaya bicara, cara
ritual, atau cara berpikir.
Kekerasan tak
bisa dilepaskan dari „esensi kekerasan‟, yang berakar pada kebu-dayaan manusia.
„Esensi‟ merujuk pada inti yang tetap yang menjamin identitas sesuatu (Zizek,
2003:67). Esensi kekerasan tidak terletak pada kekerasan itu sendiri, tetapi
“latar” (ground) yang membuka ruang baginya. “esensi kekerasan”, menurut
Zizek, “. . .tak ada kaitannya dengan kekerasan ontik (ontic violence),
penderitaan, perang, penghancuran, dst., . . (tetapi) pada karakter
pengenaan/penemuan mode baru pemben-tangan „esensi bermuatan kekerasan‟”
(Zizek, 2003:70). Ada landasan kultural, yaitu sesuatu yang menyediakan tempat,
membentangkan ruang, atau “membuka pintu” bagi aneka tindak kekerasan—itulah
esensi kekerasan: pikiran, kesadaran, hasrat, pandangan hidup, keyakinan, dan
nilai-nilai.
Oleh
karena itu, setiap konflik, kekerasan dan kejahatan tak dapat dipisahkan dari
kebudayaan. Kebudayaan “. . . melekat di dalam setiap konflik karena konflik
muncul dari relasi-relasi manusia” (Baron, dkk., 2006:16). Cara kita memahami,
memaknai, membingkai, memberi nama, membuatkan simbol, dan menyelesaikan
konflik sangat dipengaruhi kebudayaan. Kebudayaan tak sekadar pendekatan dalam
penyelesaian dan resolusi konflik, ia adalah bagian integral dari semua
tindakan, pikiran, interaksi, emosi, motivasi, karakter, dan keyakinan yang
membangunnya. Karena kekerasan adalah bentuk relasi kultural antarmanusia, ia
memberi informasi tentang bagaimana isu-isu kejahatan dipandang, diberi nilai,
dan makna.
B. Ilmu Forensik
Forensik adalah sebuah ilmu yang berkaitan dengan
penemuan bukti (evidence) dalam kasus kejahatan dan hukum pada umumnya, dengan
menyelidiki dan menganalisis secara ilmiah “fakta” yang ada di dalam persitiwa
itu. Fakta tersebut tak hanya yang bersifat fisik seperti tubuh manusia, organ
tubuh, darah, pakaian, senjata, peluru, selongsong, pisau, tanda pengenal,
lingkungan alam, tetapi juga “fakta” yang lebih luas, seperti bahasa, suara,
tulisan, simbol, kode, situs internet, atau keseluruhan “fakta budaya” yang
terkait dengan kejahatan.
Sebagai sebuah cabang keilmuan, istilah ilmu forensik
menunjuk pada sebuah istilah yang biasa digunakan untuk profesi yang menjawab
pertanyaan ilmiah tentang bukti-bukti bagi kepentingan pengadilan, khususnya
dalam menentukan keputusan hukum. “Ilmu forensik” adalah ilmu “. . .yang
menghubungkan orang, tempat dan benda-benda yang terlibat di dalam aktivitas
kejahatan; disiplin ilmiah ini membantu menyelidiki dan memutuskan kasus
kejahatan dan sipil”(Houck, 2007:2). Tujuan penyelidikan itu adalah “. . .untuk
menentukan kejahatan apa yang dilakukan, siapa yang melakukan, dan apa bukti –
bukti yang tepat untuk kejahatan itu (Bowen, 2010:54). Dapat dilihat di sini,
objek ilmu forensik adalah segala bentuk bukti (evidences).
“Bukti” adalah segala sesuatu yang membantu membuktikan atau
tak membuktikan fakta material atau non-material dalam wacana hukum, yaitu
ruang pengadilan. Ilmu forensik berurusan dengan pemeriksaan secara ilmiah,
sistematis dan komprehensif bukti-bukti tersebut, yang hasilnya baik berupa
laporan dan testimony disampaikan kepada para penyidik dan para pengacara.
Penyelidikan terhadap kasus kejahatan melibatkan berbagai pihak, khususnya
polisi, pengacara dan ilmuwan terkait. Tugas polisi, detektif atau penyelidik
dalah untuk melaporkan peristiwa kejahatan, dengan mengamankan bukti - bukti lapangan. Ilmuwan forensik bertugas
menganalisis bukti itu, dengan menggunakan cara kerja dan metode ilmiah yang
ketat. Salah satu cara untuk mendapatkan bukti melalui olah TKP, Autopsi,
visum, analisis DNA dan sebagainya.
Autopsi atau bedah mayat klinis adalah pemeriksaan yang
dilakukan dengan cara pembedahan terhadap mayat untuk mengetahui dengan pasti
penyakit atau kelainan yang menjadi sebab kematian dan untuk penilaian hasil
usaha pemulihan kesehatan.
Autopsi klinis harus dilakukan sesuai dengan standar
pemeriksaan autopsi (bedah mayat) dengan membuka rongga kepala, dada dan perut
serta melakukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang untuk menentukan sebab
kematian. Pada autopsi klinis, secara prosedur, bilamana dipandang perlu sebagian
kecil organ akan diambil untuk kepentingan pemeriksaan penunjang.
Hasil autopsi klinis dituangkan dalam sebuah laporan autopsi
yang dimasukkan dalam rekam medis, dan dapat diketahui oleh keluarga dan pihak
peminta autopsi klinis dengan mengingat batasan aturan mengenai rekam medis
yang tercantum dalam permenkes 269/MENKES/PER/III/2008 tentang rekam medis.
Laporan autopsi adalah dokumen medik yang bilamana dipandang perlu maka dokumen
ini dapat dijadikan alat bukti di persidangan.
Belum dipahaminya manfaat autopsi klinis membuat kuantitas
pelaksanaannya masih amat kecil dibanding dengan jumlah kasus yang mungkin
memerlukan autopsi klinis. Selain itu, keterikatan masyarakat dengan budayanya
menjadi faktor yang mempengaruhi pelaksanaan autopsi ini. Hal tersebut dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1. Budaya
Masyarakat Bugis
Ilmu forensik dalam kehidupan masyarakat Bugis masih
dianggap sebagai ilmu baru dan masih tabu dikalangan para tetua-tetua. Para
tetua belum mengenal secara baik tujuan dan dasar aplikasi ilmu forensik ini.
Dalam
kehidupan sehari-hari, adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat bugis
khususnya dalam mengurus jenazah, para tetua beranggapan bahwa orang yang telah
meninggal, apapun caranya sudah menjadi takdirnya. Sehingga apabila pengurusan
jenazah sampai halnya penguburan, roh orang yang meninggal sudah dianggap
tenang. Sehingga muncul istilah “pamali” untuk menggali kembali atau mengorek
kembali sebab-sebab dan cara kematian orang yang meninggal tersebut
2. Budaya
Masyarakat Makassar
Mengenai aktivitas atau kegiatan yang
dilakukan untuk mengungkap sebuah kejahatan dalam perspektif masyarakat suku
Makassar dalam hal ini mengenai ilmu forensik sudah cukup familiar namun
sebagian masyarakat suku ini juga mempunyai paham yang berbeda – beda mengenai
kegiatan pelaksanaannya, contohnya, sebelum pelaksanaan kegiatan pembongkaran
jenazah untuk autopsi biasanya dilakukan permintaan
persetujuan dari pihak keluarga dan diadakan ritual-ritual tertentu untuk
memulai kegiatan tersebut yang dilakukan oleh tetua-tetua adat dalam suku
tersebut.
3. Budaya
Masyarakat Mandar
Perspektif masyarakat mandar mengenai ilmu forensik pada umumnya juga masih
dianggap sesuatu yang belum lumrah dikalangannya, berbagai aktivitas yang
berhubungan dengan pembuktian sebuah kejahatan menuai berbagai pro dan kontra
di masyarakat, contohnya dalam pelaksanaan kegiatan autopsi. Menurut budaya
yang dianut oleh masyarakat mandar pembongkaran jenazah bisa saja dilakukan
bila memang sangat diperlukan untuk kepentingan hukum namun sebagian dari
kalangan masyarakat mandar juga berpandangan bahwa untuk dilakukan kegiatan
tersebut tidak diperbolehkan karena sangat bertentangan dengan adat, dan
dianggap hal ini dapat membuka aib bagi jenazah maupun keluarganya serta paham
tentang “pamali” juga masih sangat melekat dengan budaya yang dianut oleh
masyarakat mandar.
4.
Budaya Masyarakat Toraja
Dalam
masyarakat suku toraja, proses pembongkaran kuburan untuk proses pembersihan
jenazah harus melalui upacara adat yang disetujui oleh pemangku adat. Proses autopsi
masih menjadi hal tabu bagi masyarakat ini disebabkan karena masyarakat suku
toraja menganggap bahwa jenazah merupakan benda sakral yang tidak mudah untuk
diganggu gugat.
C. Ilmu Forensik (Otopsi) Dalam Perspektif
Budaya
Masyarakat
menolak teknologi kesehatan bisa berupa birokrasi dalam pelayanan kesehatan,
birokrasi ini disebut teknologi karena dianggap hal yang canggih dalam
pelayanan kesehatan, termasuk dalam hal ini seluruh hal-hal yang menyangkut
tentang ilmu forensik. Menurut Mc Farland dan Leininger (2002), penolakan
tersebut bisa disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah:
a. Asumsi
Kepercayaan yang Keliru
Banyak
perencanaan nasional didasarkan atas asumsi bahwa cara-cara yang berhasil di
Negara–negara barat pasti berhasil , demikian juga bila diaplikasikan di
Negara-negara berkembang padahal mengubah kebudayaan dan pola pikir suatu
masyarakat tidaklah mudah. Ada banyak hal moderenisasi dalam pelayanan
kesehatan masih sangat susah diaplikasikan pada Negara-negara berkembang.
b. Pengobatan
klinis versus pencegahan
Masyarakat
biasanya lebih menyukai pengobatan yang bersifat kuratif dari pada tindakan
preventif. Hal ini dikaitkan dengan financial.
c. Prioritas
pribadi dari para petugas kesehatan
Seringkali para
petugas kesehatan berasumsi bahwa prioritas pribadi mereka adalah yang
merupakan prioritas kelompok sasaran pula.
d. Asumsi keliru mengenai pengambilan keputusan
Para petugas
kesehatan yang bertugas dinegara-negara yang sedang berkembang beramsumsi bahwa
pasien sendirilah yang membuat keputusan mengenai pertolongan medis yang
dicarinya. Kenyataannya di Negara-negara tersebut keputusan medis biasanya
merupakan keputusan kelompok
e. Kekurangan
dalam pelayanan kesehatan
Masyarakat biasanya
kurang percaya terhadap pelayanan kesehatan baru karena beberapa hal seperti
obat-obatan yang kurang konsisten, pemilihan obat yang kurang teliti, dan
petugas yang kurang menguasai bahasa masyarakat setempat serta proporsi tenaga
kesahatan dan masyarakat yang sakit tidak seimbang
f.
Konflik peranan nasional
Banyak kaum professional
yang mengalami dilema etik. Disatu sisi mereka dituntut untuk memberikan
bantuan bagi mereka yang membutuhkan sementara disisi lain mereka juga dibatasi
oleh badan-badan peraturan yang membedakan antara para klien yang layak dan
tidak layak dilayani.
Sehingga untuk mampu memahami kompleksitas budaya dalam
kerja forensik itu diperlukan “kompetensi budaya” (cultural competency),
antara lain: “kepekaan budaya”, “pengetahuan budaya” dan “empati budaya”.
“Kepekaan budaya” adalah ukuran-ukuran tentang sensitivitas dan keterbukaan
terhadap aneka kebudayaan lain yang berbeda, baik pandangan hidup, gaya hidup,
keyakinan, adat dan nilai-nilai. Misalnya, kepekaan terhadap isu sensitif seperti keyakinan dalam konteks terorisme.
Dalam
Maschi, dkk (2009), ”Pengetahuan budaya”, yaitu pengetahuan
tentang manusia secara umum, dan khususnya tentang kebiasaan, adat, dan pola
perilaku mereka. “Empati budaya”, yaitu kemampuan untuk merasakan dan memahami pada
tingkat emosional yang lebih dalam, yang bersifat sangat personal.
Wen-Shing
Tseng menyebut tiga isu sentral terkait perbedaan kultural yang relevan dengan praktik forensik dan hukum pada
umumnya, yaitu “ras”, “etnisitas” dan “minoritas”. “Ras” adalah “kelompok
orang-orang yang dicirikan oleh sifat-sifat fisik bersama, seperti warna kulit,
mata, dan rambut; wajah atau ciri-ciri wajah atau tubuh; atau ukuran fisik”. “Etnisitas” menunjuk pada kelompok sosial yang membedakan
diri mereka dengan kelompok-kelompok lain berdasarkan jalan sejarah bersama, norma-norma perilaku dan identitas
kelompok mereka. “Minoritas” adalah kelompok relatif lebih kecil yang mengidentifikasi
diri menentang kelompok mayoritas di dalam masyarakat.
Dalam Purnel dan
Paulanka (2003), menyimpulkan beberapa hasil penelitian bahwa perspektif
seseorang terbentuk oleh nilai spesifik dan keyakinan yang tertentu yang
berakar pada budaya tertentu dan sub budaya tertentu memungkinkan penilaian
objektif dari praktek berbeda yang digunakan orang untuk meningkatkan kesehatan
dan melakukan koping terhadap penyakit. Apakah mereka paham atau tidak, orang
memiliki alasan dalam berperilaku.
Misalnya dalam
pengaplikasian ilmu forensik dalam hal ini kegiatan otopsi, masyarakat di
Indonesia khusunya pada daerah Sulawesi Selatan yang masih menganut dan
menjunjung tinggi adat kebudayannya biasanya menolak proses pengidentifikasian
jenazah karena mereka menganggap mengotak-atik tubuh manusia yang telah
meninggal apalagi telah dimakamkan sesuai agama dan adat yang mereka anut
adalah sebuah hal yang sangat pantang dilakukan (pamali).
Beberapa orang
mempunyai persepsi bahwa roh seseorang yang telah meninggalkan tubuhnya akan
damai di alam yang kekal namun jika jenazahnya diganggu maka itu berarti akan
mengusik ketentraman mereka. Keyakinan itulah maka kebanyakan orang yang
menolak kegiatan forensik khusunya otopsi.
Akan tetapi,
dalam adat kebudayaan masyarakat di Sulawesi Selatan juga masih melestarikan
kebiasaan musyawarah. Jika ada sesuatu hal baru atau masalah, mereka menyelesaikannya
dengan cara musyawarah dan kekeluargaan, jadi tidak menutup kemungkinan ada
juga beberapa masyarakat di Sulawesi Selatan yang setuju dilakukannya kegiatan
forensik dalam hal ini otopsi jika bisa dimusyawarahkan dengan baik untuk
mencapai kepentingan bersama apalagi sejalan dengan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi saat ini.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pelaksanaan
kegiatan forensik dalam persepktif budaya khususnya budaya sulawesi selatan
pada umumnya masih menuai pro dan kontro, dimana sebagian masyarakat setuju
dengan pelaksanaan kegiatan forensik dikarenakan berkaitan dengan proses hukum
dan kelompok yang tidak setuju umumnya mempertahankan adat dan budaya yang
dianut, sehingga dibutuhkan pendekatan untuk mampu memahami kompleksitas budaya dalam kerja
forensik itu diperlukan “kompetensi budaya” (cultural competency),
antara lain: “kepekaan budaya”, “pengetahuan budaya” dan “empati budaya”.
B.
Saran
Untuk
lebih memahami pembahasan mengenai integrasi forensik dengan budaya masyarakat
sulawesi selatan dibutuhkan saran dan kritik yang membangun untuk penyusunan
tugas-tugas selanjutnya yang membahas hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Idries,
Abdul Mun’im. 2009. Pedoman Praktis Ilmu
Kedoteran Forensik. Jakarta : Sagung Seto.
Piliang, Yasraf Amir. 2013. Forensik Dalam Persfektif Budaya:
Sebuah Tantangan Bagi Semiotika. Jurnal
Sosioteknologi Edisi 29. Bandung: Program Magister Seni Rupa dan Desain, FSRD,
Institut Teknologi Bandung.
Subu, Muhammad Arsyad. 2013. Prosiding Seminar
Internasional Keperawatan Forensik UIN Alauddin Makassar.
Sutria,
Eni. 2013. Keperawatan Transkultural.
Gowa : Alauddin University Press.
No comments:
Post a Comment