Tuesday, 10 May 2016

Kaitan Budaya dalam Ilmu Forensic Nursing




INTEGRASI ILMU FORENSIK DENGAN BUDAYA DI SULAWESI SELATAN






OLEH
KELOMPOK 2



PRODI KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2015
 







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Saat ini era globalisasi tidak bisa terhindarkan lagi. Tenaga keperawatan profesional Indonesia perlu mempersiapkan diri di era globalisasi karena batas negara sudah tidak ada. Saat ini kasus-kasus hukum dan pidana makin marak di Indonesia sehingga para profesional keperawatan perlu terlibat langsung untuk memberikan kontribusi secara profesional dalam menghadapi masalah bangsa Indonesia tersebut.
Ilmu forensik merupakan salah satu disiplin ilmu yang menerapkan ilmu kedokteran klinis sebagai upaya penengakan hukum dan keadilan (Budiyanto, 1999). Seiring perkembangan waktu, telah terjadi banyak kemajuan dalam ilmu kedokteran Forensik dan ilmu kedokteran Forensik berkembang menjadi ilmu yang mencakup berbagai aspek ilmu pengetahuan dan dalam ilmu kedokteran Forensik identifikasi merupakan hal yang penting (Amir, 2008).
 Identifikasi merupakan cara untuk mengenali seseorang melalui karakteristik atau ciri – ciri khusus yang dimiliki orang tersebut, dengan cara membandingkannya selama orang tersebut masih hidup dan setelah meninggal (Amir, 2008).
Salah satu cara identifikasi adalah dengan antropometri yaitu,  pengukuran bagian tubuh dalam usaha melakukan identifikasi. Bertillons memakai cara pengukuran berdasarkan pencatatan warna rambut, mata, warna kulit, bentuk hidung, telinga, dagu, tanda pada badan, tinggi badan, panjang dan lebar kepala, sidik jari, dan DNA (Amir, 2008).
Peningkatan kasus kriminal semakin meningkat dengan motif dan modus yang beragam, hal ini menyebabkan semakin pentingnya ilmu Forensik.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian budaya?
2.      Apakah pengertian ilmu forensik?
3.      Bagaimana forensik dalam perspektif budaya?

C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian budaya
2.      Untuk mengetahui pengertian ilmu forensik
3.      Untuk mengetahui ilmu forensik dalam perspektif budaya


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Budaya
Menurut Swartz (1980), “Kebudayaan” didefinisikan sebagai “... cara meyakini (believing), mengevaluasi (evaluating) dan melakukan (doing) yang dimiliki bersama dan diwariskan dari generasi ke generasi, dari orang ke orang dalam kelompok, melalui proses pembelajaran”. Selain itu, “kebudayaan” dalam Rosman (2009) “... perilaku, simbol, keyakinan, gagasan-gagasan manusia dan obyek buatan manusia ... (yaitu) “cara hidup” (way of life) orang-orang”. Kemudian menurut Twhaites (1994), Dalam konteks yang lebih kontemporer, “kebudayaan” didefinisi-kan sebagai “... kumpulan proses sosial yang melaluinya makna-makna diproduksi, disirkulasikan, dan dipertukarkan”. Dapat dilihat, bahwa kebudayaan berkaitan dengan pikiran, keyakinan, tindakan, simbol, objek, karya, dan makna yang diproduksi manusia.
 Dalam Kaplan (1972), Sebagai sebuah sistem (cultural sys-tem), kebudayaan dibangun oleh subsistem kebudayaan, yaitu ideologi, struktur sosial, teknoekonomi, dan personalitas. Subsistem “teknoekonomi” menunjuk pada perleng-kapan dan pengetahuan teknis atau material, yang dibangun melalui proses produksi, dis-tribusi dan konsumsi. Subsistem “ideologi” melingkupi keyakinan, filsafat, nilai, dan pengetahuan. Subsistem “sosial” menunjuk pada pola-pola perilaku sosial, tindakan so-sial, interaksi sosial yang bersifat normatif dan institusional. Subsistem “personalitas” menunjuk pada kondisi psikososial, yaitu konseptualisasi individu dalam hal perso-nalitas sosialnya.
Sikap (attitude) dan nilai-nilai (va-lue)—sebagai subsistem ideologi—merupakan faktor penting dalam menentukan pikiran, tindakan, perilaku, dan karya manusia. Menurut Harrison (2000), dalam konteks kehidupan sosial, politik, budaya, dan keagamaan yang lebih luas, ada nilai atau sikap yang dapat memengaruhi secara negatif evolusi institusi politik demokratis, pengembangan ekonomi, dan keadilan sosial (social justice). Dalam konteks kejahatan, ada nilai-nilai tertentu yang hidup di dalam sebuah kelompok atau masyarakat, yang mendorong anggotanya melakukan aneka kejahatan: materialisme, keserakahan, individualisme. Sebaliknya ada nilai-nilai yang meredam tindak kejahatan: kebersamaan, komunalitas, dan persaudaraan.
Meskipun ada sifat tertentu yang universal, kebudayaan dalam banyak aspek bersifat relatif, kontesktual, dan heterogen. Hal ini membawa kita pada dua pandangan kebudayaan yang saling bertentangan. Pertama, pandangan “universalisme budaya” (cultural universalism), yang melihat bahwa bentuk, prinsip, dan nilai itu bersifat uni-versal, sebagai produk kebudayaan superior. Kedua, pandangan “relativisme budaya” (cultural relativism), yaitu gagasan bahwa setiap kebudayaan unik dan berbeda, sehingga tak ada satupun yang dianggap superior. Dalam konteks kejahatan dan hukum, ada orang yang meyakini bahwa membunuh manusia lain secara universal harus dihukum; sementara ada pandangan bahwa membunuh itu “baik” dalam konteks upacara atau ritual.
Menurut Baron (2006), Perbedaan budaya dapat menjadi “berkah”, meskipun dalam banyak kasus menjadi sumber konflik, pertikaian, dan kekerasan. “Konflik” adalah kondisi yang tercipta ketika “perbedaan budaya” menjadi sumber kemarahan, ketersinggungan, kekalapan. Perbedaan kultural tertentu sering dianggap sebagai tantangan, serangan atau penghinaan terhadap sesuatu yang diyakini oleh sebuah kelompok, baik terkait dengan sentimen individu maupun identitas bersama. Perbedaan gaya pakaian, gaya makan, gaya bicara, cara berusaha, cara ibadah, atau cara tinggal, sering menjadi sumber konflik dan pertikaian antarbudaya. Sering terjadi sebuah kasus pembunuhan yang dilatari perbedaan gaya bicara, cara ritual, atau cara berpikir.
Kekerasan tak bisa dilepaskan dari „esensi kekerasan‟, yang berakar pada kebu-dayaan manusia. „Esensi‟ merujuk pada inti yang tetap yang menjamin identitas sesuatu (Zizek, 2003:67). Esensi kekerasan tidak terletak pada kekerasan itu sendiri, tetapi “latar” (ground) yang membuka ruang baginya. “esensi kekerasan”, menurut Zizek, “. . .tak ada kaitannya dengan kekerasan ontik (ontic violence), penderitaan, perang, penghancuran, dst., . . (tetapi) pada karakter pengenaan/penemuan mode baru pemben-tangan „esensi bermuatan kekerasan‟” (Zizek, 2003:70). Ada landasan kultural, yaitu sesuatu yang menyediakan tempat, membentangkan ruang, atau “membuka pintu” bagi aneka tindak kekerasan—itulah esensi kekerasan: pikiran, kesadaran, hasrat, pandangan hidup, keyakinan, dan nilai-nilai.
Oleh karena itu, setiap konflik, kekerasan dan kejahatan tak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Kebudayaan “. . . melekat di dalam setiap konflik karena konflik muncul dari relasi-relasi manusia” (Baron, dkk., 2006:16). Cara kita memahami, memaknai, membingkai, memberi nama, membuatkan simbol, dan menyelesaikan konflik sangat dipengaruhi kebudayaan. Kebudayaan tak sekadar pendekatan dalam penyelesaian dan resolusi konflik, ia adalah bagian integral dari semua tindakan, pikiran, interaksi, emosi, motivasi, karakter, dan keyakinan yang membangunnya. Karena kekerasan adalah bentuk relasi kultural antarmanusia, ia memberi informasi tentang bagaimana isu-isu kejahatan dipandang, diberi nilai, dan makna.

B.  Ilmu Forensik
Forensik adalah sebuah ilmu yang berkaitan dengan penemuan bukti (evidence) dalam kasus kejahatan dan hukum pada umumnya, dengan menyelidiki dan menganalisis secara ilmiah “fakta” yang ada di dalam persitiwa itu. Fakta tersebut tak hanya yang bersifat fisik seperti tubuh manusia, organ tubuh, darah, pakaian, senjata, peluru, selongsong, pisau, tanda pengenal, lingkungan alam, tetapi juga “fakta” yang lebih luas, seperti bahasa, suara, tulisan, simbol, kode, situs internet, atau keseluruhan “fakta budaya” yang terkait dengan kejahatan.
Sebagai sebuah cabang keilmuan, istilah ilmu forensik menunjuk pada sebuah istilah yang biasa digunakan untuk profesi yang menjawab pertanyaan ilmiah tentang bukti-bukti bagi kepentingan pengadilan, khususnya dalam menentukan keputusan hukum. “Ilmu forensik” adalah ilmu “. . .yang menghubungkan orang, tempat dan benda-benda yang terlibat di dalam aktivitas kejahatan; disiplin ilmiah ini membantu menyelidiki dan memutuskan kasus kejahatan dan sipil”(Houck, 2007:2). Tujuan penyelidikan itu adalah “. . .untuk menentukan kejahatan apa yang dilakukan, siapa yang melakukan, dan apa bukti – bukti yang tepat untuk kejahatan itu (Bowen, 2010:54). Dapat dilihat di sini, objek ilmu forensik adalah segala bentuk bukti (evidences).
“Bukti” adalah segala sesuatu yang membantu membuktikan atau tak membuktikan fakta material atau non-material dalam wacana hukum, yaitu ruang pengadilan. Ilmu forensik berurusan dengan pemeriksaan secara ilmiah, sistematis dan komprehensif bukti-bukti tersebut, yang hasilnya baik berupa laporan dan testimony disampaikan kepada para penyidik dan para pengacara. Penyelidikan terhadap kasus kejahatan melibatkan berbagai pihak, khususnya polisi, pengacara dan ilmuwan terkait. Tugas polisi, detektif atau penyelidik dalah untuk melaporkan peristiwa kejahatan, dengan mengamankan bukti -  bukti lapangan. Ilmuwan forensik bertugas menganalisis bukti itu, dengan menggunakan cara kerja dan metode ilmiah yang ketat. Salah satu cara untuk mendapatkan bukti melalui olah TKP, Autopsi, visum, analisis DNA dan sebagainya.
Autopsi atau bedah mayat klinis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara pembedahan terhadap mayat untuk mengetahui dengan pasti penyakit atau kelainan yang menjadi sebab kematian dan untuk penilaian hasil usaha pemulihan kesehatan.
Autopsi klinis harus dilakukan sesuai dengan standar pemeriksaan autopsi (bedah mayat) dengan membuka rongga kepala, dada dan perut serta melakukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang untuk menentukan sebab kematian. Pada autopsi klinis, secara prosedur, bilamana dipandang perlu sebagian kecil organ akan diambil untuk kepentingan pemeriksaan penunjang.
Hasil autopsi klinis dituangkan dalam sebuah laporan autopsi yang dimasukkan dalam rekam medis, dan dapat diketahui oleh keluarga dan pihak peminta autopsi klinis dengan mengingat batasan aturan mengenai rekam medis yang tercantum dalam permenkes 269/MENKES/PER/III/2008 tentang rekam medis. Laporan autopsi adalah dokumen medik yang bilamana dipandang perlu maka dokumen ini dapat dijadikan alat bukti di persidangan.
Belum dipahaminya manfaat autopsi klinis membuat kuantitas pelaksanaannya masih amat kecil dibanding dengan jumlah kasus yang mungkin memerlukan autopsi klinis. Selain itu, keterikatan masyarakat dengan budayanya menjadi faktor yang mempengaruhi pelaksanaan autopsi ini. Hal tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.      Budaya Masyarakat Bugis
Ilmu forensik dalam kehidupan masyarakat Bugis masih dianggap sebagai ilmu baru dan masih tabu dikalangan para tetua-tetua. Para tetua belum mengenal secara baik tujuan dan dasar aplikasi ilmu forensik ini.
Dalam kehidupan sehari-hari, adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat bugis khususnya dalam mengurus jenazah, para tetua beranggapan bahwa orang yang telah meninggal, apapun caranya sudah menjadi takdirnya. Sehingga apabila pengurusan jenazah sampai halnya penguburan, roh orang yang meninggal sudah dianggap tenang. Sehingga muncul istilah “pamali” untuk menggali kembali atau mengorek kembali sebab-sebab dan cara kematian orang yang meninggal tersebut
2.      Budaya Masyarakat Makassar
Mengenai aktivitas atau kegiatan yang dilakukan untuk mengungkap sebuah kejahatan dalam perspektif masyarakat suku Makassar dalam hal ini mengenai ilmu forensik sudah cukup familiar namun sebagian masyarakat suku ini juga mempunyai paham yang berbeda – beda mengenai kegiatan pelaksanaannya, contohnya, sebelum pelaksanaan kegiatan pembongkaran jenazah untuk autopsi biasanya dilakukan permintaan persetujuan dari pihak keluarga dan diadakan ritual-ritual tertentu untuk memulai kegiatan tersebut yang dilakukan oleh tetua-tetua adat dalam suku tersebut.


3.      Budaya Masyarakat Mandar
Perspektif masyarakat mandar mengenai ilmu forensik pada umumnya juga masih dianggap sesuatu yang belum lumrah dikalangannya, berbagai aktivitas yang berhubungan dengan pembuktian sebuah kejahatan menuai berbagai pro dan kontra di masyarakat, contohnya dalam pelaksanaan kegiatan autopsi. Menurut budaya yang dianut oleh masyarakat mandar pembongkaran jenazah bisa saja dilakukan bila memang sangat diperlukan untuk kepentingan hukum namun sebagian dari kalangan masyarakat mandar juga berpandangan bahwa untuk dilakukan kegiatan tersebut tidak diperbolehkan karena sangat bertentangan dengan adat, dan dianggap hal ini dapat membuka aib bagi jenazah maupun keluarganya serta paham tentang “pamali” juga masih sangat melekat dengan budaya yang dianut oleh masyarakat mandar.
4.      Budaya Masyarakat Toraja
Dalam masyarakat suku toraja, proses pembongkaran kuburan untuk proses pembersihan jenazah harus melalui upacara adat yang disetujui oleh pemangku adat. Proses autopsi masih menjadi hal tabu bagi masyarakat ini disebabkan karena masyarakat suku toraja menganggap bahwa jenazah merupakan benda sakral yang tidak mudah untuk diganggu gugat.

C.  Ilmu Forensik (Otopsi) Dalam Perspektif Budaya
Masyarakat menolak teknologi kesehatan bisa berupa birokrasi dalam pelayanan kesehatan, birokrasi ini disebut teknologi karena dianggap hal yang canggih dalam pelayanan kesehatan, termasuk dalam hal ini seluruh hal-hal yang menyangkut tentang ilmu forensik. Menurut Mc Farland dan Leininger (2002), penolakan tersebut bisa disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah:
a.       Asumsi Kepercayaan yang Keliru
Banyak perencanaan nasional didasarkan atas asumsi bahwa cara-cara yang berhasil di Negara–negara barat pasti berhasil , demikian juga bila diaplikasikan di Negara-negara berkembang padahal mengubah kebudayaan dan pola pikir suatu masyarakat tidaklah mudah. Ada banyak hal moderenisasi dalam pelayanan kesehatan masih sangat susah diaplikasikan pada Negara-negara berkembang.
b.      Pengobatan klinis versus pencegahan
Masyarakat biasanya lebih menyukai pengobatan yang bersifat kuratif dari pada tindakan preventif. Hal ini dikaitkan dengan financial.
c.       Prioritas pribadi dari para petugas kesehatan
Seringkali para petugas kesehatan berasumsi bahwa prioritas pribadi mereka adalah yang merupakan prioritas kelompok sasaran pula.
d.       Asumsi keliru mengenai pengambilan keputusan
Para petugas kesehatan yang bertugas dinegara-negara yang sedang berkembang beramsumsi bahwa pasien sendirilah yang membuat keputusan mengenai pertolongan medis yang dicarinya. Kenyataannya di Negara-negara tersebut keputusan medis biasanya merupakan keputusan kelompok
e.       Kekurangan dalam pelayanan kesehatan
Masyarakat biasanya kurang percaya terhadap pelayanan kesehatan baru karena beberapa hal seperti obat-obatan yang kurang konsisten, pemilihan obat yang kurang teliti, dan petugas yang kurang menguasai bahasa masyarakat setempat serta proporsi tenaga kesahatan dan masyarakat yang sakit tidak seimbang
f.       Konflik peranan nasional
Banyak kaum professional yang mengalami dilema etik. Disatu sisi mereka dituntut untuk memberikan bantuan bagi mereka yang membutuhkan sementara disisi lain mereka juga dibatasi oleh badan-badan peraturan yang membedakan antara para klien yang layak dan tidak layak dilayani.
Sehingga  untuk mampu memahami kompleksitas budaya dalam kerja forensik itu diperlukan “kompetensi budaya” (cultural competency), antara lain: “kepekaan budaya”, “pengetahuan budaya” dan “empati budaya”. “Kepekaan budaya” adalah ukuran-ukuran tentang sensitivitas dan keterbukaan terhadap aneka kebudayaan lain yang berbeda, baik pandangan hidup, gaya hidup, keyakinan, adat dan nilai-nilai. Misalnya, kepekaan terhadap isu sensitif seperti keyakinan dalam konteks terorisme.
Dalam Maschi, dkk (2009), ”Pengetahuan budaya”, yaitu pengetahuan tentang manusia secara umum, dan khususnya tentang kebiasaan, adat, dan pola perilaku mereka. “Empati budaya”, yaitu kemampuan untuk merasakan dan memahami pada tingkat emosional yang lebih dalam, yang bersifat sangat personal.
Wen-Shing Tseng menyebut tiga isu sentral terkait perbedaan kultural yang relevan dengan praktik forensik dan hukum pada umumnya, yaitu “ras”, “etnisitas” dan “minoritas”. “Ras” adalah “kelompok orang-orang yang dicirikan oleh sifat-sifat fisik bersama, seperti warna kulit, mata, dan rambut; wajah atau ciri-ciri wajah atau tubuh; atau ukuran fisik”. “Etnisitas” menunjuk pada kelompok sosial yang membedakan diri mereka dengan kelompok-kelompok lain berdasarkan jalan sejarah bersama, norma-norma perilaku dan identitas kelompok mereka. “Minoritas” adalah kelompok relatif lebih kecil yang mengidentifikasi diri menentang kelompok mayoritas di dalam masyarakat.
Dalam Purnel dan Paulanka (2003), menyimpulkan beberapa hasil penelitian bahwa perspektif seseorang terbentuk oleh nilai spesifik dan keyakinan yang tertentu yang berakar pada budaya tertentu dan sub budaya tertentu memungkinkan penilaian objektif dari praktek berbeda yang digunakan orang untuk meningkatkan kesehatan dan melakukan koping terhadap penyakit. Apakah mereka paham atau tidak, orang memiliki alasan dalam berperilaku.
Misalnya dalam pengaplikasian ilmu forensik dalam hal ini kegiatan otopsi, masyarakat di Indonesia khusunya pada daerah Sulawesi Selatan yang masih menganut dan menjunjung tinggi adat kebudayannya biasanya menolak proses pengidentifikasian jenazah karena mereka menganggap mengotak-atik tubuh manusia yang telah meninggal apalagi telah dimakamkan sesuai agama dan adat yang mereka anut adalah sebuah hal yang sangat pantang dilakukan (pamali).
Beberapa orang mempunyai persepsi bahwa roh seseorang yang telah meninggalkan tubuhnya akan damai di alam yang kekal namun jika jenazahnya diganggu maka itu berarti akan mengusik ketentraman mereka. Keyakinan itulah maka kebanyakan orang yang menolak kegiatan forensik khusunya otopsi.
Akan tetapi, dalam adat kebudayaan masyarakat di Sulawesi Selatan juga masih melestarikan kebiasaan musyawarah. Jika ada sesuatu hal baru atau masalah, mereka menyelesaikannya dengan cara musyawarah dan kekeluargaan, jadi tidak menutup kemungkinan ada juga beberapa masyarakat di Sulawesi Selatan yang setuju dilakukannya kegiatan forensik dalam hal ini otopsi jika bisa dimusyawarahkan dengan baik untuk mencapai kepentingan bersama apalagi sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini.



BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Pelaksanaan kegiatan forensik dalam persepktif budaya khususnya budaya sulawesi selatan pada umumnya masih menuai pro dan kontro, dimana sebagian masyarakat setuju dengan pelaksanaan kegiatan forensik dikarenakan berkaitan dengan proses hukum dan kelompok yang tidak setuju umumnya mempertahankan adat dan budaya yang dianut, sehingga dibutuhkan pendekatan untuk mampu memahami kompleksitas budaya dalam kerja forensik itu diperlukan “kompetensi budaya” (cultural competency), antara lain: “kepekaan budaya”, “pengetahuan budaya” dan “empati budaya”.

B.     Saran
Untuk lebih memahami pembahasan mengenai integrasi forensik dengan budaya masyarakat sulawesi selatan dibutuhkan saran dan kritik yang membangun untuk penyusunan tugas-tugas selanjutnya yang membahas hal tersebut.




DAFTAR PUSTAKA

Idries, Abdul Mun’im. 2009. Pedoman Praktis Ilmu Kedoteran Forensik. Jakarta : Sagung Seto.
Piliang, Yasraf Amir. 2013. Forensik Dalam Persfektif Budaya: Sebuah Tantangan Bagi Semiotika. Jurnal Sosioteknologi Edisi 29. Bandung: Program Magister Seni Rupa dan Desain, FSRD, Institut Teknologi Bandung.
Subu, Muhammad Arsyad. 2013. Prosiding Seminar Internasional Keperawatan Forensik UIN Alauddin Makassar.
Sutria, Eni. 2013. Keperawatan Transkultural. Gowa : Alauddin University Press.
 

No comments:

Post a Comment