Tuesday, 10 May 2016

LP Herpes



LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA
PASIEN DENGAN HERPES SIMPLEX




Oleh
KELOMPOK 4



PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR
2016




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Herpes simpleks virus telah terdapat di mana-mana, agen virus patogen yang teradaptasi menyebabkan berbagai kondisi penyakit. Terdapat 2 jenis virus herpes simplex, yaitu : virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) dan tipe 2 (HSV-2). Keduanya erat terkait tetapi berbeda dalam epidemiologi. HSV-1 secara tradisional dikaitkan dengan penyakit orofasial, sedangkan HSV-2 secara tradisional dikaitkan dengan penyakit kelamin.  Namun, lokasi lesi tidak selalu menunjukkan jenis virus.
Sekitar 80% dari herpes simpleks infeksi tidak menunjukkan gejala. Infeksi simtomatik dapat ditandai dengan morbiditas yang signifikan dan kekambuhan. Dalam immunocompromised host, infeksi dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa.
Prevalensi infeksi HSV di seluruh dunia telah meningkat selama beberapa dekade terakhir, membuatnya menjadi masalah kesehatan masyarakat utama. Pengakuan Prompt infeksi herpes simpleks dan inisiasi awal terapi yang sangat penting dalam pengelolaan penyakit.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka laporan ini disusun untuk membahas mengenai konsep dasar medis dan konsep dasar keperawatan untuk kasus penyakit herpes simplex.

B.     Tujuan
1.      Mampu memahami definisi herpes simplex
2.      Mampu menjelaskan etiologi dari herpes simplex
3.      Mampu menjelaskan patofisiologi dari herpes simplex
4.      Mampu menyebutkan manifestasi klinis dari herpes simplex
5.      Mampu menyebutkan pemeriksaan diagnostik dari herpes simplex
6.      Mampu menyebutkan penatalaksanaan medis untuk herpes simplex
7.      Mampu menyebutkan pencegahan untuk herpes simplex
8.      Mampu menyebutkan komplikasi dari herpes simplex
9.      Mampu menjelaskan prognosis untuk herpes simplex
10.  Mampu menjelaskan pengkajian untuk herpes simplex
11.  Mampu menyebutkan diagnosa keperawatan untuk herpes simplex
12.  Mampu menyebutkan intervensi keperawatan untuk herpes simplex
13.  Mampu menjelaskan pathway dan penyimpangan KDM untuk herpes simplex



BAB II
TINJAUAN TEORI

A.    Konsep Dasar Medis
1.    Definisi
Herpes simplex adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (virus herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekurens.
Herpes simpleks disebut juga fever blaster, cold score, herpes febrilis, herpes labialis, herpes progenitalis (genitalis).
Dalam herpes simplek dibedakan menjadi dua tipe berdasarkan perbedaan imunologis dan klinisnya yaitu
a.       Virus herpes simpleks tipe I
Merupakan infeksi yang paling benyak ditemukan pada masa kanak-kanak. Biasanya ditransmisi melalui kontak sekresi oral dan menyebabkan cold sores dan fever blisters.
b.      Virus herpes simpleks tipe 2
Biasanya terjadi setelah puber seiring aktivitas sexual meningkat. Dan di transmisikan terutama melalui kontak dengan sekresi genetalia.
2.      Etiologi
Penyebab Berdasarkan struktur antigeniknya dikenal 2 tipe virus herpes simpleks:
a.       Virus Herpes Simpleks Tipe I (HSV I)
Penyakit kulit/selaput lendir yang ditimbulkan biasanya disebut herpes simpleks saja, atau dengan nama lain herpes labialis, herpesfebrilis. Biasanya penderita terinfeksi virus ini pada usia kanak-kanak melalui udara dan sebagian kecil melalui kontak langsung seperti ciuman, sentuhan atau memakai baju/handuk mandi bersama. Lesi umumnya dijumpai pada tubuh bagian atas termasuk mata dengan rongga mulut, hidung dan pipi; selain itu, dapat juga dijumpai di daerah genitalia, yang penularannya lewat koitusoro genital (oral sex).
b.      Virus Herpes Simpleks Tipe II (HSV II)
Penyakit ditularkan melalui hubungan seksual, tetapi dapat juga terjadi tanpa koitus, misalnya dapat terjadi pada dokter gigi dan tenaga medik. Lokalisasi lesi umumnya adalah bagian tubuh di bawah pusar, terutama daerah genitalia lesi ekstra-genital dapat pula terjadi akibat hubungan seksualorogenital.
3.      Patofisiologi
Virus herpes simpleks disebarkan melalui kontak langsung antara virus dengan mukosa atau setiap kerusakan di kulit. Virus herpes simpleks tidak dapat hidup di luar lingkungan yang lembab dan penyebaran infeksi melalui cara selain kontak langsung kecil kemungkinannya terjadi. Virus herpes simpleks memiliki kemampuan untuk menginvasi beragam sel melalui fusi langsung dengan membran sel. Pada infeksi aktif primer, virus menginvasi sel pejamu dan cepat berkembang dengan biak, menghancurkan sel pejamu dan melepaskan lebih banyak virion untuk menginfeksi sel-sel disekitarnya. Pada infeksi aktif primer, virus menyebar melalui saluran limfe ke kelenjar limfe regional dan menyebabkan limfadenopati.
Tubuh melakukan respon imun seluler dan humoral yang menahan infeksi tetapi tidak dapat mencegah kekambuhan infeksi aktif. Setelah infeksi awal timbul fase laten. Selama masa ini virus masuk ke dalam sel-sel sensorik yang mempersarafi daerah yang terinfeksi dan bermigrasi disepanjang akson untuk bersembunyi di dalam ganglion radiksdorsalis tempat virus berdiam tanpa menimbulkan sitotoksisitas atau gejala pada manusia.
4.      Manifestasi Klinis
Secara umum gejala klinik infeksi virus herpes simpleks dapat dibagi dalam 2 bentuk yaitu :
a.       Infeksi primer , yang biasanya disertai gejala ( simtomatik ) meskipun dapat pula tanpa gejala ( asimtomatik ). Keadaan tanpa gejala kemungkinan karena adanya imunitas tertentu dari antibodi yang bereaksi silang dan diperoleh setelah menderita infeksi tipe 1 saat anak-anak. Masa inkubasi yang khas selama 3 – 6 hari ( masa inkubasi terpendek yang pernah ditemukan 48 jam ) yang diikuti dengan erupsi papuler dengan rasa gatal, atau pegal-pegal yang kemudian menjadi nyeri dan pembentukan vesikel dengan lesi vulva dan perineum yang multipel dan dapat menyatu.
Adenopati inguinalis yang bisa menjadi sangat parah. Gejala sistemik mirip influenza yang bersifat sepintas sering ditemukan dan mungkin disebabkan oleh viremia. Vesikel yang terbentuk pada perineum dan vulva mudah terkena trauma dan dapat terjadi ulserasi serta terjangkit infeksi sekunder. Lesi pada vulva cenderung menimbulkan nyeri yang hebat dan dapat mengakibatkan disabilitas yang berat. Retensi urin dapat terjadi karena rasa nyeri yang ditimbulkan ketika buang air kecil atau terkenanya nervus sakralis. Dalam waktu 2 – 4 minggu, semua keluhan dan gejala infeksi akan menghilang tetapi dapat kambuh lagi karena terjadinya reaktivasi virus dari ganglion saraf. Kelainan pada serviks sering ditemukan pada infeksi primer dan dapat memperlihatkan inflamasi serta ulserasi atau tidak menimbulkan gejala klinis.
b.      Infeksi rekuren, Setelah infeksi mukokutaneus yang primer, pertikel-partikel virus akan menyerang sejumlah ganglion saraf yang berhubungan dan menimbulkan infeksi laten yang berlangsung lama. Infeksi laten dimana partikel-partikel virus terdapat dalam ganglion saraf secara berkala akan terputus oleh reaktivasi virus yang disebut infeksi rekuren yang mengakibatkan infeksi yang asimtomatik secara klinis ( pelepasan virus ) dengan atau tanpa lesi yang simtomatik. Lesi ini umumnya tidak banyak, tidak begitu nyeri serta melepaskan virus untuk periode waktu yang lebih singkat (2 – 5 hari) dibandingkan dengan yang terjadi pada infeksi primer, dan secara khas akan timbul lagi pada lokasi yang sama. Walaupun sering terlihat pada infeksi primer, infeksi serviks tidak begitu sering terjadi pada infeksi yang rekuren.
c.       Infeksi primer pada ibu dapat menular pada janin, meskipun jarang, melalui plasenta atau lewat korioamnion yang utuh dan dapat menyebabkan abortus spontan, prematuritas, ataupun kelainan kongenital dengan gejala mirip infeksi pada sitomegalovirus seperti mikrosefali, korioretinitis, IUGR. Janin hampir selalu terinfeksi oleh virus yang dilepaskan dari serviks atau traktus genitalis bawah setelah ketuban pecah atau saat bayi dilahirkan. Infeksi herpes pada bayi baru lahir mempunyai salah satu dari ketiga bentuk berikut ini :
1)      Disseminata ( 70 % ), menyerang berbagai organ penting seperti otak, paru. Hepar, adrenal, dan lain-lain dengan kematian lebih dari 50 % yang disebabkan DIC atau pneumonitis, dan yang berhasil hidup sering menderita kerusakan otak. Sebagian besar bayi yang terserang bayi prematur.
2)      Lokalisata ( 15 % ) dengan gejala pada mata, kulit dan otak dengan kematian lebih rendah dibanding bentuk disseminata, tetapi bila tidak diobati 75 % akan menyebar dan menjadi bentuk disseminata yang fatal. Bentuk ini sering berakhir dengan kebutaan dan 30 % disertai kelainan neurologis.
3)      Asimtomatik hanya terjadi pada sebagian kecil penderita herpes neonatal.
5.      Pemeriksaan Diagnostik
a.       Pemeriksaan serologi (STS) dan pemeriksaan dengan mikroskop lapang gelap untuk menyampingkan sifilis.
b.      Pemeriksaan Laboratorium lain:
1)      Menemukan badan inklusi pada sediaan apus cairan vesikel yang dicat dengan giemsa (Tzank Test). Atau dilakukan pemeriksaan sitologi sesudah fiksasi dengan alcohol dan pengecetan Papanicolaou digunakan sebagai cara yang cepat untuk mendiagnosis eksaserbasi klinis, dan sediaan apus yang diambil memperlihatkan lesi dengan sel-sel multinucleus yang besar dan badan inklusi virus yang eosinofilik. Metode ini dibatasi oleh spesifisitas dan sensitivitasnya. Namun, teknik pengecatan imunoperoksidase dan pemeriksaan ELISA (enzyme-linked immudosorbent assay) pernah dievaluasi bahwa pembuatan diagnosis lebih cepat dari sediaan apus, tetapi teknik ini tidak banyak dipakai selama kehamilan.
2)      Elektromikroskop: untuk melihat morfologi virus
3)      Serologi: menentukan jenis antibibodi spesifik
4)      Pemeriksaan immunofluoresen:  menentukan antigen virus dan jenis imunoglobulinnya dengan hasil Ig G maupun komplemen c3 mengendap disepanjang zona membran basalis
5)      Pemeriksaan histopatologi
6)      Biakan virus pada membran chorio alantois ( CAM ) atau tissue culture. Metode ini merupakan cara yang paling optimal untuk memastikan infeksi yang terlihat secara klinis dan eksaserbasi yang asimtomatik. Dan pada eksaserbasi yang simtomatik lebih dari separuh pemeriksaan kultur akan memberikan hasil yang positif setelah 48 jam, namun pada eksaserbasi yang asimtomatik, diperlukan waktu yang lebih lama lagi sebelum terlihat efek sitopatik mengingat titer virus yang lebih rendah.
6.      Penatalaksanaan Medis
a.        Mencegah infeksi:
1)      Penyuluhan
2)      Meningkatkan kebersihan perawatan bayi terutama untuk infeksi herpes orolabial dan mata.
3)      Untuk infeksi genital tidak melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang beresiko tinggi.
4)      Untuk wanita lain, pada ibu dengan infeksi primer dianjurkan untuk tidak hamil pada 1 sampai 2 bulan pertama.
5)      Pemeriksaan sitologi teratur pada wanita hamil dengan infeksi herpes simpleks terutama menjelang persalinan.
6)      Dilakukan operasi SC bila ditemukan lesi aktif maupun pelepasan virus.
7)      Imunisasi
a)      Secara aktif non spesifik
Diberikan vaksinasi dengan vaksin small pox, polio sabin dan BCG. Tidak dianjurkan karena tidak terjadi imunitas silang.
b)      Secara aktif spesifik
Vaksin mengandung antigen herpes simpleks yang telah di inaktifkan dengan pemanasan 58 derajat celcius yang diperoleh dari CMA. Ada 2 macam vaksin:
i.       Lupidon H: untuk herpes labialis (HSV tipe 1)
ii.     Lupidon G: untuk herpes genetalis (HSV tipe 2)
Vaksin ini tidak boleh diberikan pada wanita hamil dan penderita yang alergi dengan Lupidon G, dapat diberikan kimbinasi Lupidon H dan lupidon G.
c)      Imunisasi secara pasif
Pemberian gamma-globulin dan interferon
d)     Stimulator imunologi:levamisol
Bersifat antiviral pada kulur jaringan dan hewan stimulasi CMI bisa memberikan efek toksis
b.      Mencegah kekambuhan
Menghilangkan atau mengurangi faktor pencetus dengan memberikan pengarahan serta mengobati infeksi.
Meningkatkan daya tahan tubuh penderita dengan perbaikan kondisi tubuh maupun obat-obat anti virus seperti valaciclovir dan acyclovir.
Bila terdapat infeksi sekunder sebaiknya diberikan obat-obat yang tidak memberikan masking effect terhadap sifilis, misalnya cotrimoksasol dan streptomisin.
c.       Pengobatan
Secara topikal Obat-obat yang sering dipakai:
1)      Povidon-iodin
a)      Antiseptik
b)      Hati-hati pada wanita hamil karena bisa menimbulkan goiter (gondok) pada bayi.
2)      Idoksuridin ( IDU )
a)      Bersifat menekan sintesis DNA virus dan herpes, jadi menghambat replikasi virus
b)      IDU 10-40% dalam DMSO (dimetil sulfoksida) lebih baik, tapi jangan lebih dari empat hari karena DMSO dapat menimbulkan maserasi.
c)      Tidak dapat diberikan secara sistemik karena bersifat toksis
d)     HERPID adalah 5% IDU dalam100% DMSO
3)      Sitosin arabinosida/cytarabine
Menekan sintesis DNA virus dan hospes
4)      Adenin arabinosida/vidarabine
Menekankan sintesis DNA hospes dan polimerasi DNA virus
5)      Bahan-bahan pelarut organis
a)       Alkohol 70%: bersifat mengeringkan, untuk stadium vesikel
i.       Eter: Melarutkan lipid envelope sehingga partikel virus didapatkan ekstra sel
ii.     Bersifat krustasi lokal
iii.   Sebelum vesikel dipecahkan dan kemudian dioleskan
iv.   Kurang menyebabkan iritasi dan bersifat anestesi lokal
b)      Timol 4% dalam kloroform
i.      mempercepat krustasi
ii.    bersifat anestesi lokal dan mencegah infeksi sekunder
iii.  virusidal terhadap virus yang envelope nya mengandung lipid
6)      Kortikosteroid (prednison 40-60 mg/hari
a)      Anti inflamasi lokal tidak spesifik
b)      Mempercepat redanya peradangan
c)      Dapat diberikan pada staduim dini dengan edema yang hebat dalam bentuk lotio hydrocortison 1%
7)      Inaktifasi fotodinamik dan larutan zat warna seperti methylen blue, neutral red atau flavine
a)      Zat warna mengikat virus DNA dan dengan penyinaran akan merusak dan menginaktivasi virus
b)      Secara sistemik: Pemberian obat antiviral
i.       vidarabine/ara A: pemberian secara I.V terutama untuk penyembuhan komlikasi seperti herpetic enchepalitis
ii.     acycloguanosine: spesifik untuk kelompok virus herpes, tinggi efektifitasnya untuk corneal ulcus
8)      Lignocain 1-2% dalam bentuk gel untuk menghilangkan rasa nyeri pada daerah lesi
7.      Pencegahan
            Karena kemungkinan tertular penyakit ini meningkat dengan jumlah pasangan seksual seseorang, membatasi jumlah pasangan adalah langkah pertama menuju pencegahan. Untuk menjaga dari penyebaran herpes, kontak intim harus dihindari ketika luka pada tubuh. Gatal, terbakar atau kesemutan mungkin terjadi sebelum luka berkembang. Hubungan seksual harus dihindari selama waktu ini. Herpes bahkan dapat menyebar ketika tidak ada luka atau gejala. Untuk meminimalkan risiko penyebaran herpes, kondom lateks harus digunakan selama semua kontak seksual. Busa spermisida dan jeli mungkin menawarkan perlindungan tambahan meskipun bukti mengenai hal ini kontroversial. Virus herpes juga dapat menyebar dengan menyentuh luka dan kemudian menyentuh bagian lain dari tubuh. Jika Anda menyentuh luka, cuci tangan Anda dengan sabun dan air sesegera mungkin. Juga, tidak berbagi handuk atau pakaian dengan siapa pun.
8.      Komplikasi
            Komplikasi yang paling signifikan dari HSV adalah ensefalitis, meupakan kasus fatal sekitar 60-80%. HSV dapat muncul sebagai penyakit menular seperti pneumonia, colitis, atau esofagitis pada pasien AIDS. Infeksi primer atau rekuren selama hamil dapat menimbulkan infeksi congenital janin dan bayi baru lahir. Komplikasi dapat berupa infeksi lokal sampai dengan kelainan dan kadang meninggal.
            Komplikasi herpes simpleks genitalis dapat berupa perluasan lesi lokal dan penyebaran virus ke lokasi ekstragenital, susunan saraf pusat dan bahkan bisa juga terjadi superinfeksi jamur. Pada pria dapat terjadi impotensia. Infeksi menyeluruh bisa terjadi pada toraks dan ekstremitas, penyebaran mukokutan pada pasien dengan dermatitis atopik atau kehamilan
9.      Prognosis
Selama pencegahan rekurens masih merupakan problem , hal tersebut secara psikologik akan memberatkan penderita. Pengobatan secara dini dan tepat memberi prognosis yang lebih baik, yakni masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurens lebih jarang.  Pada orang dengan gangguan imunitas , misalnya pada penyakit-penyakit dengan tumor di sistem retikuloendotelial, pengobatan dengan imunosupresan yang lama atau fisik yang sangat lemah, menyebabkan infeksi ini dapat menyebar ke alat-alat dalam dan dapat  fatal. Prognosis akan lebih baik seiring dengan meningkatnya usia seperti pada orang dewasa. (Adhi Djuanda, 2007:  383.)



B.     Konsep Dasar Keperawatan
1.      Pengkajian
a.       Biodata
Dapat terjadi pada semua orang di semua umur; sering terjadi pada remaja dandewasa muda, jenis kelamin; dapat terjadi pada pria dan wanita, pekerjaan: beresiko tinggi pada penjajak seks komersial
b.      Keluhan utama
Gejala yang sering menyebabkan penderita datang ke tempat pelayanankesehatan adalah nyeri pada lesi yang timbul.
c.       Riwayat penyakit sekarang
1)      Kembangkan pola PQRST pada setiap keluhan klien.
2)      Pada beberapa kasus,timbul lesi/vesikel perkelompok pada penderita yang mengalami demam ataupenyakit yang disertai peningkatan suhu tubuh atau pada penderita yangmengalami trauma  fisik maupun psikis.
3)      Penderita merasakan nyeri yang hebat, terutama pada aera kulit yang mengalami peradangan berat dan vesikulasi hebat.
d.      Riwayat penyakit dahulu
Sering diderita kembali oleh klien yang pernah mengalami penyakit herpes simplek atau memiliki riwayat penyakit seperti ini.
e.       Riwayat penyakit keluarga
Ada anggota keluarga atau teman dekat yang terinfeksi virus ini.
f.       Kebutuhan psikososial
Klien dengan penyakit kulit, terutama yang lesinya berada pada bagian mukaatau yang dapat dilihat oleh orang, biasanya mengalami gangguan konsep diri. Hal itu meliputi perubahan citra tubuh, ideal diri tubuh, ideal diri, harga diri,penampilan peran, atau identitas diri.
Reaksi yang mungkin timbul adalah:
1)      Menolak untuk menyentuh atau melihat salah satu bagian tubuh.
2)      Menarik diri dari kontak sosial. 
3)      Kemampuan untuk mengurus diri berkurang.

g.      Kebiasaan sehari-hari
Dengan adanya nyeri, kebiasaan sehari-hari klien juga dapat mengalami gangguan, terutama untuk istirahat/tidur dan aktivitas. Terjadi gangguan BAB dan BAK pada herpes simpleks genitalis. Penyakit ini sering diderita olehklien yang mempunyai kebiasaan menggunakan alat-alat pribadi secara bersama-sama atau klien yang mempunyai kebiasaan melakukan hubungan seksual dengan berganti ganti pasangan.
h.      Pemeriksaan fisik 
Keadaan umum klien bergantung pada luas, lokasi timbulnya lesi, dandaya tahan tubuh klien. Pada kondisi awal/saat proses peradangan,dapat terjadi peningkatan suhu tubuh atau demam dan perubahan tanda-tanda vital yang lain.
Pada pengkajian kulit,ditemukan adanya vesikel-vesikel berkelompok yang nyeri,edema di sekitar lesi,dan dapat pula timbul ulkus pada infeksisekunder.
Perhatikan mukosa mulut, hidung, dan penglihatan klien. Pada pemeriksaan genitalia pria, daerah yang perlu diperhatikan adalah bagian glans penis, batang penis, uretra, dan daerah anus.
Sedangkan pada wanita,daerah yang perlu diperhatikan adalah labia mayora dan minora, klitoris, introitus vagina, dan serviks. Jika timbul lesi, catat jenis, bentuk, ukuran / luas,warna, dan keadaan lesi. Palpasi kelenjar limfe regional, periksa adanyapembesaran; pada beberapa kasus dapat terjadi pembesaran kelenjar limferegional.
Untuk mengetahui adanya nyeri, kita dapat mengkaji respon individuterhadap nyeri akut secara fisiologis atau melalui respon perilaku.
Secara fisiologis,terjadi diaphoresis, peningkatan denyut jantung, peningkatan pernapasan, dan peningkatan tekanan darah; pada perilaku, dapat juga dijumpai menangis, merintih, atau marah. Lakukan pengukuran nyeri dengan menggunakan skala nyeri 0-10 untuk orang dewasa.
Untuk anak-anak, pilih skala yang sesuai dengan usia perkembangannya kita bisa menggunakan skala wajah untuk mengkaji nyeri sesuai usia; libatkan anak dalam pemilihan
2.      Diagnosa Keperawatan
a.       Hipertermia berhubungan dengan penyakit (infeksi herpes simpleks genitalis) ditandai dengan suhu tubuh > 37,50C, kulit kemerahan, kulit teraba hangat
b.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan imunologis ditandai dengan adanya ulkus superfisial di area genital.
c.       Nyeri akut berhubungan dengan perubahan agen cedera biologis (herpes simpleks)
d.      Risiko infeksi (sekunder) berhubungan dengan pertahanan tubuh primer tidak adekuat (integritas kulit tidak utuh)
e.       Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik (gatal dan nyeri pada lesi herpes simpleks) ditandai dengan mengantuk disiang hari, malaise, lesu, iritabilitas
f.       Gangguan body image berhubungan dengan penyakit (krusta akibat lesi herpes simpleks) ditandai dengan pandangan negatif tentang tubuh, perubahan actual pada struktur
g.       Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan ditandai dengan gelisah, khawatir
h.      Defisiensi pengetahuan mengenai proses penyakit, pengobatan, dan pencegahan kekambuhan infeksi Herpes Simpleks Genitalia berhubungan dengan kurangnya pajanan informasi ditandai dengan pengungkapan masalah mengenai ketidaktahuan tentang penyakit, ketidakakuratan mengikuti perintah pengobatan dan pencegahan (sering terjadi rekurensi infeksi).


3.      Intervensi Keperawatan
a.       Hipertermia berhubungan dengan penyakit (infeksi herpes simpleks genitalis) ditandai dengan suhu tubuh > 37,50C, kulit kemerahan, kulit teraba hangat
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .... x 24 jam suhu badan anak dalam batas normal
Intervensi:
1.      Ukur suhu badan anak setiap 4 jam
Rasional: suhu 38,9 – 41,1 menunjukkan proses penyakit infeksius
2.      Pantau suhu lingkungan
Rasional: Untuk mempertahankan suhu badan mendekati normal
3.      Berikan kompres hangat
Rasional: Untuk mengurangi demam
4.      Berikan selimut pendingin
Rasional: Untuk mengurangi demam lebih dari 39,5 0C
5.      Kolaborasi dengan tim medis : pemberian antipiretik
Rasional: Untuk emngurangi demam dengan aksi sentralnya di hipotalamus
b.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan imunologis ditandai dengan adanya ulkus superfisial di area genital.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .... x 24 jam Kerusakan integritas kulit teratasi dengan kriteria hasil :
-          Kulit menjadi sehat
-          Friksi bisa terhindari
-          Cedera bisa terhindari
-          Kulit bisa terhindari dari sinar UV berlebihan
Intervensi:
1.      Kaji ukuran, warna, kedalaman luka, perhatikan jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka
Rasional: Memberikan info dasar tentang kebutuhan penanam
      kulit dan kemungkinan petunjuk tenang sirkulasi pada
      area grafitasi
2.      Berikan perawatan luka yang tepat dan tindakan kontrol infeksi
Rasional: Menyiapkan jaringan untuk penanam dan menurunkan
                resiko infeksi
3.      Lakukan mamase dengan lembut kulit sekitar area yang sakit
Rasional: Merangsang sirkulasi
c.       Nyeri akut berhubungan dengan perubahan agen cedera biologis (herpes simpleks)
Tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .... x 24 jam Nyeri hilang atau berkurang dengan kriteria hasil:
-          Klien mengatakan bahwa nyeri hilang atau berkurang
-          Klien tampak tidak meringis
-          Klien tampak rileks
Intervensi:
1.      Kaji keluhan nyeri, perhatika lokasi atau karakteristik dan intensitas
Rasional: Nyeri hampis selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan atau kerusakan tapi biasanya paling berat selama pergantian balutan dan debridemen. Perubahan lokasi atau karakteristik atau intensitas nyeri dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi
2.      Ubah posisi sering dan rentang gerak pasif dan aktif sesuai indikasi
Rasional: Gerakan dan latihan menurunkan kekakuan sendi dan kelelahan otot tapi tipe latihan tergantung pada lokasi dan luas cedera
3.      Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat, penutup tubuh hangat
Rasional: Pengeturan tubuh dapat mencegah menggigil

4.      Kolaborasi pemberian analgesik
Rasional: Mengurangi nyeri
d.      Risiko infeksi (sekunder) berhubungan dengan pertahanan tubuh primer tidak adekuat (integritas kulit tidak utuh)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .... x 24 jam, dengan kriteria hasil :
-         Penyembuhan luka berjalan baik
-         Tidak ada tanda infeksi seperti eritema, demam,
-         Tekanan darah >90/60 mmHg
-         Nadi < 100x/menit dengan pola dan kedalaman normal
Intervensi:
a.       Kaji dan catat kualitas, lokasi dan durasi nyeri. Waspadai nyeri yang menjadi hebat
Rasional: Nyeri berlebihan menunjukkan tanda inflamasi dan  
       infeksi
b.      Awasi dan catat tanda vital terhadap peningkatan suhu, nadi, adanya pernapasan cepat dan dangkal
Rasional: Sebagai data dasar untuk penetuan intervensi selanjutnya
c.       Lakukan perawatan luka dengan tehnik aseptic
Rasional: Mengurangi resiko terjadinya infeksi
d.      Lihat insisi dan balutan. Catat karakteristik drainase luka/drain, eritema
Rasional: Karakteristik luka sebagai data dasar penentuan diagnosa
dan intervensi selanjutnya
e.       Kolaborasi: antibiotik
Rasional: Untuk mengurangi resiko terjadinya infeksi
e.       Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik (gatal dan nyeri pada lesi herpes simpleks) ditandai dengan mengantuk disiang hari, malaise, lesu, iritabilitas
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .... x 24 jam Ganguan pola tidur  teratasi dengan kriteria hasil :
-          Klien dapat beristirahat/ tidur diantara gangguan
-          Melaporkan peningkatan rasa sehat dan merasa dapat istirahat
Intervensi :
1.      Tentukan kebiasaan tidur biasanya dan peubahan yang terjadi
Rasional : mengkaji perlunya dan mengidentifikasi intervensi yang tepat
2.      Berikan tempat tidur yang nyaman dan beberapa milik pribadi
Rasional : meningkatkan kenyamanan tidur serta dukungan   
                 psikologis
3.      Instruksikan tindakan relaksasi
Rasional : membantu menginduksi tidur
4.      Kurangi kebisingan dan lampu
Rasional : memberikan situasi kondusif untuk tidur
5.      Kolaborasi pemberian sedatif, jika perlu
Rasional : mungkin diberikan untuk membantu pasien tidur/ istirahat selama periode transisi
f.       Gangguan body image berhubungan dengan penyakit (krusta akibat lesi herpes simpleks) ditandai dengan pandangan negatif tentang tubuh, perubahan actual pada struktur
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .... x 24 jam Ganguan citra tubuh teratasi dengan kriteria hasil :
-          klien tidak mengalami gangguan citra diri
-          klien memahami kondisi kulitnya
-          Klien lebih merasa nyaman
-          klien tidak merasa takut lagi
-          klien bisa menilai diri dan mengenali masalahnya
intervensi:
1.      Kaji adanya gangguan citra diri (menghindari kontak mata,ucapan merendahkan diri sendiri.)
Rasional: Gangguan citra diri akan menyertai setiap penyakit/keadaan yang tampak nyata bagi klien, kesan orang terhadap dirinya berpengaruh terhadap konsep diri.
2.      Identifikasi stadium psikososial terhadap perkembangan.
Rasional: Terdapat hubungan antara stadium perkembangan, citra diri dan reaksi serta pemahaman klien terhadap kondisi kulitnya.
3.      Berikan kesempatan pengungkapan perasaan
Rasional: klien membutuhkan pengalaman didengarkan dan dipahami.
4.      Nilai rasa keprihatinan dan ketakutan klien
Rasional: Memberikan kesempatan pada petugas untuk menetralkan kecemasan yang tidak perlu terjadi
5.      Bantu klien yang cemas mengembangkan kemampuan untuk menilai diri dan mengenali masalahnya.
Rasional: Memulihkan realitas situasi, ketakutan merusak adaptasi klien .
g.      Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan ditandai dengan gelisah, khawatir
Tujuan: : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .... x 24 jam
Ansietas teratasi dengan kriteria hasil:
Menunjukkan pengendalian diri terhadap ansietas
Intervensi :
1.      Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien.
Rasional : faktor ini mempengaruhi persepsi pasien terhadap ancaman diri, potensial siklus ansietas, dan dapat mempengaruhi upaya medik untuk mengontrol ansietas.
2.      Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan secara verbal pikiran dan perasaan untuk mengeksternalisasikan ansietas.
Rasional : membantu pasien menurunkan ansietas dan memberikan kesempatan untuk pasien menerima situasi nyata.
3.      Berikan informasi faktual menyangkut diagnosis, terapi,dan prognosis.
Rasional: menurunkan ansietas sehubungan dengan ketidaktahuan/harapan yang akan datang dan memberikan dasar fakta untuk membuat pilihan informasi tentang pengobatan.
4.      Jelaskan semua prosedur, termasuk sensasi yang biasanya di alami selama prosedur.
Rasional: memberikan dasar pengetahuan sehingga pasien dapat membuat pilihan yang tepat. Menurunkan ansietas dan dapat meningkatkan kerjasama dalam program terapi, kerjasama penuh penting untuk keberhasilan hasil setelah prosedur
5.      Ajarkan teknik relaksasi misalnya imajinasi terbinbing, visualisasi.
Rasional : memfokuskan perhatian pasien, membantu menurunkan Ansietas  dan meningkatkan proses penyembuhan
6.      Kolaborasi pemberian obat untuk menurunkan ansietas, jika perlu.
Rasional: dapat digunakan untuk menurunkan ansietas dan memudahkan istirahat.
h.      Defisiensi pengetahuan mengenai proses penyakit, pengobatan, dan pencegahan kekambuhan infeksi Herpes Simpleks Genitalia berhubungan dengan kurangnya pajanan informasi ditandai dengan pengungkapan masalah mengenai ketidaktahuan tentang penyakit, ketidakakuratan mengikuti perintah pengobatan dan pencegahan (sering terjadi rekurensi infeksi).
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .... x 24 jam
Tingkat pemahaman yang ditunjukkan tentang proses penyakit dengan kriteria hasil:
Klien mampu menyebutkan pengertian, penyebab,tanda dan gejala dan pengobatannya

Intervensi
1.      Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya
Rasional : mengetahui apa yang diketahui pasien tentang penyakitnya.
2.      Beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan pasien
Rasional : supaya pasien tahu tata laksana penyakit, perawatan penyakitnya.
3.      Beri kesempatan pasien dan keluaga pasien untuk bertanya bila ada yang belum dimengerti
Rasional : mengetahui sejauh mana pengetahuan pasien dan keluarga pasien setelah di beri penjelasan tantang penyakitnya.
4.      Beri reinforcement positif jika klien menjawab dengan tepat
Rasional : memberikan rasa percaya diri pasien dalam kesembuhan sakitnya












Daftar Pustaka

Arief, M, Suprohaita, Wahyu I.W. Wiwiek S. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, ED : 3 jilid : 2. Jakarta : Media Aesculapius FKUI.
Djuanda, Adhi dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta
Dochterman, Joanne McCloskey. 2004. Nursing Interventions Classification (NIC) Fourth Edition. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier
Moorhead, Sue. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fourth Edition. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier
NANDA Internasional. 2010. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta: EGC
Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit vol 2. Edisi 6. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah Brunner & Suddarth.Volume 2. Edisi 8.  Jakarta : EGC

No comments:

Post a Comment