Sunday, 13 April 2014

Coret-Coret Patofisiologi Asma

TUGAS KELOMPOK
PATOFISIOLOGI ASMA
 




OLEH :
KELOMPOK 2
YUSNA KURNIA UTAMI MARDAN                 (70300112001)
MIFTAHUL ULYA AWALUDDIN                      (703001120   )
NURFADILLAH AMIN                                         (703001120  )
RUSDIANA. M                                                         (703001120  )
SALMI AZIS                                                             (703001120  )
MUKARRAMAH                                                    (703001120  )
AMBO SAU                                                              (703001120  )
NURRAHMAYANI                                                 (70300112023)



PRODI S.1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR
2013

PATOFISIOLOGI ASMA

Penyakit asma merupakan penyakit immunologi yang menyebabkan kesukaran bernafas pada penderitanya. Penyakit ini merupakan suatu penyakit heterogen yang dipicu oleh beragam sebab, sampai saat ini belum ada klasifikasi sederhana yang diterima secara luas. Bagaimanapun, asma biasanya diklasifikasikan menjadi dua katergori utama berdasarkan ada tidaknya penyakit imun penyebab :
1.      Asma Ekstrinsik, episode asma biasanya disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I yang dipicu oleh pajanan ke suatu antigen ekstrinsik seperti tungau, debu, serbuk sari, spora jamur
2.      Asma Intrinsik, yang mekanisme pemicunya bersifat nonimun. Pada bentuk ini, sejumlah rangsangan yang kecil atau tidak berefek pada orang normal dapat menyebabkan bronkospasme pada pasien. Faktor tersebut mencakup latihan/ olahraga, pencemaran, emosional/stress, makanan (makanan yang biasanya mengandung histamin), obat-obatan.
Secara umum, asma yang timbul pada awal kehidupan memiliki komponen alergi (ekstrinsik) yang kuat, sedangkan asma yang timbul belakangan sering merupakan tipe asma intrinsik.
Pada Asma Ekstrinsik, penderita asma memiliki kelainan imunologi dimana terjadi hiperreaktifitas pada saluran trakheobronkus ketika benda asing/alergen seperti tungau, serbuk sari, bulu hewan masuk ke saluran pernafasan. Dimana prosesnya yaitu, ketika alergen masuk, ia ditangkap oleh APC (antigen presenting cell) yang kemudian mengirim sinyal kepada limfosit T dibantu oleh MHC tipe II. Di limfosit T, ada TCR (T Cell Reseptor) yang menangkap sinyal dari APC tentang adanya alergen. Sel T kemudian berdiferensiasi membentuk sel Th (T helper) untuk mensekresi interleukin. Sekresi interleukin merangsang sel B untuk memproduksi IgE. IgE kemudian akan masuk ke sirkulasi dan berikatan dengan sel mast. Ketika ada paparan kedua oleh alergen, alergen akan melekat pada sel mast, sehingga membentuk kompleks alergen, sel mast, dan IgE yang menyebabkan degranulasi sel mast karena penurunan kadar cAMP. Didalam sel mast terdapat berbagai macam mediator kimia beserta fungsinya masing-masing. Ketika terjadi degranulasi sel mast, sel mast melepaskan mediator kimia berupa histamin, prostaglandin, PAF (fosfolipid), leukotrien dsb. Pelepasan bahan-bahan kimia ini menyebabkan munculnya reaksi alergi.
Sedangkan pada asma intrinsik, faktor-faktor pencetusnya antara lain latihan/olahraga, pencemaran/polusi udara, emosional/stress, makanan, dan obat-obatan. Namun belum diketahui secara pasti mengenai latihan, emosional menyebabkan bronkokonstriksi. Faktor lain yaitu pencemaran misalnya polusi udara, dimana udara mengandung berbagai macam karena udara tersebut mengandung bakteri, spora jamur, virus, polutan inhalan seperti ozon, sulfur dioksida dan nitrogen dioksida. Zat-zat tersebut meningkatkan hiperreaktifitas saluran nafas, sehingga menyebabkan infeksi saluran nafas. Manifestasi klinis dari adanya infeksi ini yaitu batuk, mual, kenaikan suhu tubuh (hipertermi),dsb. Respon tubuh yang mengalami hipertermi yaitu mekanisme haus karena dehidrasi. Jika dehidrasi tidak diatasi dengan segera akan menyebabkan kerusakan integritas kulit misalnya kulit menjadi kering, turgor kulit, dsb.
Faktor intrinsik lain, misalnya bahan makanan yang mengandung histamin juga mecetuskan asma, dimana histamin ini sama dengan histamin yang dilepaskan oleh degranulasi sel mast, yang bermanifestasi pada peningkatan aktivitas kelenjar mukus respirasi, sehingga produksi mukus didalam saluran nafas berlebih, kemudian terjadi penumpukan mukus disaluran nafas, utamanya bronkus. Histamin ini juga bermanifestasi pada aktifasi nosiseptor pada daerah radang sehingga menimbulkan rasa nyeri ketika bernafas, yang menjadikan kesulitan bernafas sehingga pola nafas tidak teratur atau terjadi ketidakefektifan pola nafas.
Selain itu, obat-obatan seperti aspirin dan antibiotik mencetuskan asma karena obat ini menekan/ menghambat stimulasi β-adrenergik sehingga meningkatkan metabolisme α-adrenergik. Meningkatnya α-adrenergik berperan dalam bronkokonstriksi yaitu penyempitan bronkus.
Proses muculnya asma melalui pelepasan mediator-mediator kimia, yaitu histamin yang meningkatkan produksi mukus sehingga terjadi penumpukan mukus pada saluran nafas, penumpukan mukus ini akan beresiko sebagai media tumbuhnya bakteri yang mungkin akan mencetuskan resiko infeksi. Penumpukan mukus ini juga menyebabkan peningkatan tahanan jalan nafas sehingga CO2 terperangkap didalam paru sedangkan O2 dari atmosfer kesulitan masuk kedalam paru. Tertahannya CO2 didalam paru bermanifestasi pada dispnea (sesak ketika bernafas) sehingga akan mengganggu pola tidur (kebutuhan instirahat tidur tidak terpenuhi dengan baik). Selain itu, sulitnya O2 masuk ke dalam paru menyebabkan kekurangan oksigen didalam pembuluh darah (hipoksemia), sehingga sel dan jaringan juga akan kekurangan oksigen (hipoksia), sedangkan O2 berperan penting didalam proses metabolisme sel, terganggunya proses metabolisme menyebabkan absorbsi nutrisi tidak terpenuhi, sehingga nutrisi tubuh kurang dari kebutuhan normal tubuh. Kurangnya nutrisi menyebabkan rasa lemah, tidak mampu beraktivitas (gangguan mobilitas fisik, intoleransi aktivitas) yang menyebabkan defisit perawatan diri.
Prostaglandin yang memicu kontaksi otot polos bronkus menyebabkan bronkokonstriksi yang juga dibantu oleh konsumsi obat-obat misalnya aspirin dan antibiotik, latihan/olahraga, dan faktor emosional atau stress melalui pengaktifan saraf simpatis. Prostaglandin juga berperan mengganggu fungsi termostat hipotalamus sehingga titik suhu normal tubuh yaitu 36,7 – 37,4 derajat celcius meningkat. Titik suhu tubuh meningkat sedangkan suhu tubuh sebenarnya normal dianggap rendah oleh tubuh menghasilkan respon kedinginan/menggigil. Mediator kimia lain yaitu, PAF jenis fosfolipid mencetuskan respons lepuh dan kulit merah. Serta leukotrien yang mencetuskan spasme (pembengakakan) otot polos bronkus yang lazim disebut bronkospasme. Pembengkakan bronkus ini akan menyebabkan perubahan status kesehatan, yang apabila individu atau keluarga tidak tahu atau kurang informasi tentang gejala ini akan menyebabkan kecemasan karena mekanisme koping individu tidak efektif mungkin karena individu tidak siap tentang penyakit yang diderita.
Adanya penumpukan mukus, bronkokonstriksi, dan bronkospasme merupakan tanda dari ketidakefektifan bersihan jalan nafas. Hal ini menyebabkan gangguan pertukaran gas di alveoli karena udara luar yang mengandung O2 terhalang di bronkus begitupun sebaliknya udara dari dalam paru yang mengandung CO2 sulit dikeluarkan melalui proses ekspirasi. Sulitnya udara luar masuk menyebabkan penurunan volume O2 didalam paru dan kapiler atau hipoksemia terutama di pembuluh darah arteri. Kekurangan ini menimbulkan umpan balik tubuh untuk meningkatkan aktivitas pernafasan agar kebutuhan O2 terpenuhi secara efektif. Peningkatan aktifitas pernafasan ini akan semakin meningkatkan kebutuhan O2 di jantung agar jantung mengalami peningkatan kontraksi, dalam hal ini meningkatkan denyut nadi (takikardi). Selain itu, peningkatan aktifitas pernafasan akan memaksakan pengeluaran CO2 melalui saluran sempit sehingga menimbulkan bunyi mengi.


















REFERENSI

Prasetyo, Budi. 2010. Seputar Masalah Asma. Jogjakarta : Diva Press
Robbins, dkk. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7 Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Tambayong, Jan, dr. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Suzanne C.Smeltzer, Brenda G.Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner & Suddarth Edisi 8 Volume 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Sylvia A.Price, Lovraine M.Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Herdman, T.Heather, PhD, RN, dkk. 2011. Nanda Internasional : Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.



No comments:

Post a Comment