Tuesday, 22 July 2014

BIDADARI BERLAMPU

Florence Nightingale lahir di Firenze (Florence), Italia tanggal 12 Mei 1820. Ayah Florence bernama Wiliam Nightingale seorang tuan tanah kaya di Derbyshire, London. Ibunya Frances (“Fanny”) Nightingale née Smith keturunan ningrat, keluarga Nightingale adalah keluarga terpandang. Florence memiliki seorang kakak bernama Parthenope. Semasa kecil Florence Nightingale tinggal di Lea Hurst yaitu sebuah rumah besar dan mewah milik ayahnya. Saat usia remaja, Florence tidak seperti anak ningrat kebanyakan yang suka bermalas-malasan dan berfoya-foya, Florence lebih banyak beraktivitas diluar rumah membantu warga sekitar yang membutuhkan.

Pada saat Florence berusia 24 tahun, dia merasa yakin bahwa panggilannya adalah merawat orang sakit. Tetapi pada tahun 1840-an, para gadis Inggris terhormat tidak akan diperbolehkan menjadi perawat. Pada masa itu, perawat tidak melebihi fungsinya sebagai pembantu yang melakukan semua pekerjaan di setiap rumah sakit umum (para orang kaya dirawat di rumah sendiri) dan dianggap sebagai peminum atau pelacur.
 
Tetapi, Florence yang belum menikah dan masih tinggal bersama orang tuanya, merasa hampir gila karena merasa tidak produktif dan frustrasi. Dia bertanya kepada seorang dokter tamu dari Amerika, Dr. Samuel Howe, "Apakah pantas bagi seorang gadis Inggris mencurahkan hidupnya untuk menjadi seorang perawat?" Dia menjawab, "Di Inggris, semua yang tidak biasa, dianggap tidak layak. Tetapi, bukanlah sesuatu yang tidak mungkin terjadi atau tidak wajar, bagi seorang wanita terhormat, bila melakukan suatu pekerjaan yang membawa kebaikan bagi orang lain."

Tahun 1846 ia mengunjungi Kaiserswerth, Jerman. Ia mengenal lebih jauh tentang Rumah Sakit Modern Pioner yang dipelopori oleh Pendeta Theodor Fliedner bersama istrinya dan dikelola oleh biarawati Lutheran dari kalangan katolik. Disana Florence terpesona akan pekerjaan sosial keperawatan yang dipraktekan oleh para biarawati, Florence pulang ke Inggris dengan membawa angan-angannya tentang keperawatan.
 
Tahun 1851 saat Florence menginjak usia 31 tahun ia dilamar namun lamaran tersebut ditolaknya karena pada tahun tersebut Florence sudah membulatkan tekadnya untuk mengabdikan dirinya didunia keperawatan. Keinginan Florence menjadi perawat ditentang keras oleh ibu dan kakaknya karena pada saat itu ditempatnya perawat dianggap sebagai pekerjaan hina. 
 
Tanggal 12 Agustus 1853, Florence kembali ke London dan bekerja sebagai pengawas bagian keperawatan di Institute for the Care of Sick Gentlewomen, sebuah rumah sakit kecil di Upper Harley Street, London. Di rumah sakit ini ia berargumentasi keras dengan komite rumah sakit karena menolak pasien yang beragama katolik, Florence mengancam akan mengundurkan diri kecuali pihak rumah sakit merubah peraturan memberinya izin tertulis bahwa; “ Rumah Sakit akan menerima tidak saja pasien yang beragama Katolik, tetapi juga Yahudi dan agama lainnya, serta memperbolehkan mereka menerima kunjungan dari pendeta-pendeta mereka termasuk rabi, dan ulama untuk orang Islam”. Dan akhirnya komite rumah sakit pun menyetujuinya.
 
Meletusnya perang di Semenanjung Krimea tahun 1854 yang memakan banyak korban membuat Florence mengajukan surat kepada mentri penerangan inggris saat itu (Sydney Hubert) untuk menjadi sukarelawan, ia merupakan sukarelawan wanita satu-satunya yang mendaftarkan diri. Tanggal 21 Oktober 1854 bersama 38 gadis sukarelawan yang telah ia latih termasuk bibinya Mai Smith, mereka berangkat ke Turki menumpang sebuah kapal, bulan November 1854 mereka mendarat di di rumah sakit pinggir pantai di Scutari.
 
Kondisi rumah sakit tersebut saat Florence baru tiba disana sangat mengerikan, semua ruangan penuh sesak dengan prajurit yang terluka dan berates-ratus prajurit bergelimpangan dihalaman tanpa tempat berteduh dan tanpa ada yang merawat. Potongan-potongan tubuh sisa amputasi tertumpuk diluar jendela dan tidak ada yang membuangnya sehingga menggunung dan menimbulkan bau tak sedap.
 
Florence melakukan perubahan-perubahan penting, ia mengatur tempat tidur para penderita diruangan dan untuk penderita diluar ruangan ia mengusahakan setidaknya bernaung dibawah pohon dan ia juga menugaskan mendirikan tenda. Penjagaan dilakukan secara teliti, begitu juga perawatan dilakukan dengan cermat; perban diganti secara berkala, obat diberikan pada waktunya, lantai rumah sakit dipel setiap hari, meja kursi dibersihkan, baju-baju kotor dicuci dengan mengerahkan bantuan tenaga dari penduduk setempat.  
 
Kerja keras Florence membersihkan rumah sakit tidak berpengaruh banyak terhadap jumlah kematian para prajurit, angka kematian menjadi yang terbanyak diantara rumah sakit lain didaerah tersebut. Sebagian besar para prajurit mati karena penyakit tipes, tifoid, kolera, dan disentri dabandingkan dengan kematian akibat luka-luka perang. Kondisi rumah sakit menjadi sangat fatal karena jumlah pasien melimpah lebih banyak dari daya tampungnya sehingga menyebabkan pembuangan limbah dan ventilasi memburuk.
 
Pada saat pertempuran dahsyat di luar kota telah berlalu, seorang bintara datang dan melapor pada Florence bahwa dari kedua belah pihak korban yang berjatuhan banyak sekali.  Bintara tersebut mengatakan bahwa korban selanjutnya harus menunggu sampai besok karena sudah terlanjur gelap.
 
Florence memaksa bintara tersebut untuk mengantarnya ke bekas medan pertempuran untuk mengumpulkan korban yang masih bisa diselamatkan karena bila mereka menunggu hingga esok hari korban-korban tersebut bisa mati kehabisan darah. Berangkatlah mereka berenam ke bekas medan pertempuran, semuanya pria, hanya Florence satu-satunya wanita. Florence dengan berbekal lentera membalik dan memeriksa tubuh-tubuh yang bergelimpangan, membawa siapa saja yang masih hidup dan masih bisa diselamatkan, termasuk prajurit Rusia. Malam itu mereka kembali dengan membawa lima belas prajurit, dua belas prajurit Inggris dan tiga prajurit Rusia.
 
Semenjak saat itu setiap terjadi pertempuran, pada malam harinya Florence berkeliling dengan lampu untuk mencari prajurit-prajurit yang masih hidup dan mulailah ia terkenal sebagai BIDADARI BERLAMPU yang di gelap gulita. Banyak nyawa tertolong yang seharusnya sudah meninggal.
 
Nightingale memainkan peran utama dalam pendirian Komisi Kerajaan untuk Kesehatan Tentara Inggris, dengan Sidney Herbert menjadi ketua. Nightingale menulis laporan 1.000 halaman lebih yang termasuk laporan statistik mendetail. Laporan Komisi Kerajaan membuat adanya pemeriksaan tentara militer, dan didirikannya Sekolah Medis Angkatan Bersenjata dan sistem rekam medik angkatan bersenjata.
 
Ketika ia masih di Turki, pada tanggal 29 November 1855, publik memberikan pengakuan pada Florence Nightingale untuk hasil kerjanya pada saat perang. Sekembalinya Florence ke London, ia diundang oleh tokoh-tokoh masyarakat. Mereka mendirikan sebuah badan bernama “Dana Nightingale”, dimana Sidney Herbert menjadi Sekertaris Kehormatan dan Adipati Cambridge menjadi Ketuanya. Badan tersebut berhasil mengumpulkan dana yang besar sekali sejumlah ₤45.000 sebagai rasa terima kasih orang-orang Inggris karena Florence Nightingale berhasil menyelamatkan banyak jiwa dari kematian.
 
Florence menggunakan uang itu untuk membangun sebuah sekolah perawat khusus untuk wanita yang pertama. Florence berargumen bahwa dengan adanya sekolah perawat, maka profesi perawat akan menjadi lebih dihargai, ibu-ibu dari keluarga baik-baik akan mengijinkan anak-anak perempuannya untuk bersekolah disana dan masyarakat akan lain sikapnya menghadai seseorang yang terdidik. Sekolah tersebut pun didirikan di lingkungan rumah sakit St. Thomas Hospital, London.
 
Saat dibuka pada tanggal 9 Juli 1860 berpuluh-puluh gadis dari kalangan baik-baik mendaftarkan diri, perjuangan Florence di Semenanjung Krimea telah menghilangkan gambaran lama tentang perempuan perawat. Dengan didirikannya sekolah perawat tersebut telah diletakkan dasar baru tentang perawat terdidik dan dimulailah masa baru dalam dunia perawatan orang sakit. Kini sekolah tersebut dinamakan Sekolah Perawat dan Kebidanan Florence Nightingale (Florence Nightingale School of Nursing and Midwifery) dan merupakan bagian dari Akademi King College London.

No comments:

Post a Comment