Sunday, 8 June 2014

Laporan Seminar kasus katarak

BAB I
PENDAHULUAN


Katarak merupakan penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan yang dapat dicegah di dunia. Meskipun tindakan operasi merupakan satu-satunya pilihan pengobatan efektif yang ada, namun mengidentifikasi faktor risik katarak akan membantu untuk menentukan langkah-langkah pencegahan dan strategi yang tepat, untuk pencegahan kejadian katarak pada tingkat dini. Berbagai tindakan pencegahan untuk memperlambat terjadinya katarak dapat dilakukan sesuai dengan faktor risiko. Dengan memperhatikan deterrninan katarak pada masyarakat Indonesia maka dapat ditentukan upaya yang diperlukan untuk memperlalnbat terjadinya katarak.
Dari hasil penelitian analisis yang dilakukan oleh Riset Kesehatan Dasar 2007, faktor resiko terhadap kejadian katarak, hasilnya bahwa resiko katarak meningkat berdasarkan peningkatan kelompok umur. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil yang dilaporkan kepustakaan, bahwa umur adalah faktor risiko utama katarak, dan persentasi katarak meningkat secara berrnakna sesuai dengan semakin meningkatnya umur. Pada umur 60 tahun, diperkirakan separuhnya mengalaini kekeruhan lensa dan pada umur 80 tahun ke atas hampir semua menderita kekerulian.
Berdasarkan hubungan antara jenis kelamin dan katarak, diperoleh katarak pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian lain yang melaporkan bahwa katarak lebih tinggi pada perempuan. Perempuan berisiko 1,6 1 kali lebih tinggi menjadi katarak dibandingkan laki-laki. Beberapa ha1 dikemukakan oleh para peneliti bahwa ha1 ini mungkin berhubungan dengan faktor lain, seperti kurang baiknya akses kesehatan bagi perempuan dan lebih tingginya angka harapan hidup pada perempuan di suatu negara.
Risiko katarak pada responden dengan pendidikan lebih rendah dari SMP meningkat dibandingkan responden dengan pendidikan SMP ke atas. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian lain yang melaporkan bahwa faktor penyebab katarak salah satunya adalah rendahnya pendidikan. Rendahnya pendidikan kemungkinan berhubungan dengan kurangnya kesadaran responden dalam ha1 mencari pengobatan
Pada hubungan antara pekerjaan dengan katarak, ditemukan kejadian katarak lebih tinggi pada responden yang tidak bekerja dan yang bekerja di luar rumah (outdoor) dibandingkan dengan pekerjaan di dalam rumah (indoor). Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut; pada responden yang tidak bekerja lebih banyak yang berusia tua dan selain itu adanya katarak kemungkinan membatasi kemampuan responden untuk bekerja. Pada pekerjaan yang dilakukan di luar rumah didapatkan risiko katarak lebih tinggi, ha1 ini dapat diterangkan adanya pajanan sinar ultra violet dari sinar matahari pada mata saat bekerja, dan tidak memakai alat pelindung diri pada saat bekerja.
Dari sudut tempat tinggal, diperoleh persentasi katarak pada responden di pedesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Sesuai dengan Data SKRTSURKESNAS 2001 yang melaporkan prevalensi katarak di daerah pedesaan lebih tinggi jika dibandingkan daerah perkotaan. Kemungkinan di daerah pedesaan pajanan kronis terhadap sinar matahari lebih banyak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian lain yang melaporkan bahwa pajanan kronis terhadap sinar ultra violet (sinar matahari) berhubungan dengan katarak.
Berdasarkan tingkat pengeluaran perkapita, didapatkan persentasi katarak meningkat pada responden dengan tingkat pengeluaran yang rendah dibandingkan tingkat pengeluaran yang tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian lain yang melaporkan bahwa faktor sosial ekonomi merupakan salah satu faktor risiko katarak. Bagi responden dengan tingkat pengeluaran yang tinggi lebih memungkinkan bagi mereka untuk mencari pengobatan dan membayar operasi katarak.
Pada masyarakat Indonesia yang berumur 30 tahun ke atas, determinan yang paling berperan pada kejadian katarak adalah umur dan penyakit glaukoma, diikuti oleh DM, pekerjaan utama, pendidikan, jenis kelamin, tempat tinggal, konsumsi alkohol, merokok, makan buah dan sayur, asupan vitamin A, dan pengeluaran per kapita RT.
Upaya – upaya pecegahan kebutaan di Indonesia telah dilaksanakan sejak tahun 1967 ketika kebutaan dinyatakan sebagai bencana nasional. Waktu itu, upaya diutamakan pada pemberantasan trachoma dan defisiensi vitamin A. Pada balita masalah kurang vitamin A (KVA) sudah bukan menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena prevalensi KVA klinis, yang ditunjukkan oleh prevalensi Xeroftalmia (X1b) menurun dari 1.3% pada tahun 1980 menjadi 0.3% pada tahun 1992. Namun kita perlu waspada karena 50.2% balita masih menderita KVA subklinis yang ditandai dengan rendahnya serum retinol (serum retinol <20nngr/dl) yang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup anak.
Selama krisis ekonomi dan situasi politik yang tidak kondusif, terjadi kecenderungan meningkatnya KVA pada ibu dan balita di daerah miskin perkotaan. Beberapa laporan dari daerah dan data survei yang dilakukan oleh Hellen Keller International (HKI) di beberapa daerah kumuh perkotaan, yaitu di Sumatra Barat, Nusa Tenggara Barat, Lampung, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta pada tahun 1998 mernunjukkan bahwa hampir 10 juga anak balita penderita KVA subklinis, dimana 80.000 diantaranya disertai dengan gejala bercak bitot (Xeroftalmia) yang terancam buta (<0.3%).
Sejak 1984, Upaya Kesehatan Mata/Pencegahan Kebutaan (UKM/PK) sudah diintegrasikan ke dalam kegiatan pokok Puskesmas. Sedangkan program
Penanggulangan Kebutaan Katarak Paripurna (PKKP) dimulai sejak 1987 baik melalui Rumah Sakit (RS) maupun Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM). Namun demikian, hasil survei tahun 1993-1996 menunjukkan bahwa angka kebutaan meningkat dari 1,2% (1982) menjadi 1,5% (1993-1996), padahal 90% kebutaan dapat ditanggulangi (dicegah atau diobati). Disamping itu masalah kebutaan, gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi dengan prevalensi sebesar 22,1% juga menjadi masalah serius. Sementara 10% dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun) menderita kelainan refraksi. Sampai saat ini angka pemakaian kacamata koreksi masih rendah yaitu 12,5% dari prevalensi.
Apabila keadaan ini tidak ditangani secara sungguh-sungguh, akan terus berdampak negatif pada perkembangan kecerdasan anak dan proses pembelajarannya yang selanjutnya juga mempengaruhi mutu, kreativitas dan produktivitas angkatan kerja (15-55 tahun), yang diperkurakan berjumlah 95 juta orang (BPS, tahun 2000). Pada gilirannya nanti akan mengganggu laju pembangunan ekonomi nasional yang kini dititikberatkan pada pengambangan dan penguatan usaha kecil menengah (UKM) untuk mengentaskan golongan ekonomi lemah dari kemiskinan.
Kondisi-kondisi tersebut sudah menjadi masalah sosial yang tidak mungkin ditangani sendiri oleh Departemen Kesehatan, tetapi harus ditanggulangi secara terpadu oleh pemerintah dan seluruh unsur masyarakat. Lintas Sektor terkait (Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, Departemen Sosial, Departemen Tenaga Kerja) diharapkan dapat berperan aktif. Menyadari kondisi tersebut, Presiden Megawati Soekarnoputri (waktu itu wakil presiden) pada tanggal 15 Februari 2000 telah mencanangkan program WHO: Vision 2020 – The Right to Sight di Indonesia. Program ini merupakan inisiatif global untuk menanggulangi gangguan penglihatan dan kebutaan yang sebenarnya dapat dicegah/direhabilitasi. Program ini dicanangkan di wilayah Asia Tenggara oleh Direktur Regional WHO Daerah Asia Tenggara pada tanggal 30 September 1999. Pencanangan ini berarti pemberian hak bagi setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan penglihatan optimal.
Sebagai tindak lanjut atas pencanangan Vision 2020 dan mendukung tercapainya Indonesia Sehat 2010, dipandang perlu menyusun rencana strategis nasional yang bersifat lintas sektor dan lintas profesi. Oleh karena itu pada pelaksanaannya perlu mengacu pada Undang-undangn yang berlaku, agar dapat dilaksanakan secara komprehensif dan harmonis di pusat dan daerah. Undang – undang yang dimaksud, diantaranya ialah Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kebutaan, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Mengingat besarnya masalah kesehatan indera penglihatan dan menyadarai pentingnya kesehatan indera penglihatan maka perlu disusun strategi bagi penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan
A. STRATEGI
1.      Membentuk Komite Nasional, Propinsi, dan Kab/Kota Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan yang berfungsi mengkoordinasikan semua kegiatan dan sumber daya penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan
2.      Meningkatnya advokasi dan komunikasi lintas sektor/program dalam penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan
3.      Menggalang kemitraan dalam penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan
4.      Penguatan manajemen program dan infrastruktur pelayanan dalam rangka penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan
5.      Peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang terlibat dalam penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan
6.      Mobilisasi sumber daya pemerintah, swasta, masyarakat dan lembaga donor dalam dan luar negeri yang mendukung pelaksanaan kegiatan penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan
B.     KEBIJAKAN OPERASIONAL
1.      Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (PGPK) dilaksanakan:
a.       Sebagai bagian yang tidak terpisahkan, dari Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010 dan Vision 2020 – The Right to Sight
b.      Melalui pelayanan kesehatan primer yang ditunjang oleh sistem pelayanan rujukan kesehatan indera penglihatan serta perluasan pelayanan di berbagai tingkat
c.       Secara terdesentralisasi, yang menjamin keterpaduan perencanaan dan alokasi anggaran
d.      Sesuai dengan standar pelayanan yang efisien dan efektif
e.       Peningkatan sistem pelayanan kesehatan untuk menjamin tersedianya akses terhadap pelayanan kesehatan indera penglihatan yang berkualitas
f.       Berorientasi pada pembangunan manusia berkualitas, yang mempu menunjang kualitas kehidupan
g.      Bekerjasama dengan seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan kepedulian terhadap gangguan penglihatan dan kebutaan
h.      Partisipatif, terkoordinasi serta sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dengan mengembangkan strategi “milik daerah sendiri”, sehingga diharapkan dapat memaksimalkan kualitas, pemanfaatan, dan kesinambungan kegiatan
i.        Pemberdayaan dan penguatan semua kegiatan yang telah ada, dengan pola kerjasama kemitraan, memaksimalkan sumber daya dan mencegah timbulanya kegiatan tumpang tindih
j.        Melibatkan semua tenaga kesehatan dan non kesehatan terkait.
2.      Penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan berupaya memperoleh alokasi sumber daya uantuk menjamin agar pelayanan kesehatan indera penglihatan dapat dijangkau oleh kaum miskin dan penduduk yang kurang mampu di manapun mereka berada
3.      Penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan dikembangkan berdasarkan pengalaman di lapangan



BAB II
TINJAUAN TEORI
KONSEP DASAR MEDIS
A.      Definisi
Katarak berasal dari Yunani Katarrhakies, Inggeris Cataract, dan Latin cataracta yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular dimana penglihatan tertutup air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa terjadi akibat kedua – duanya. (Sidarta Ilyas,2012).
Katarak merupakan setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan)lensa, denaturasi protein lensa, atau akibat kedua – duanya. Biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progresif. (Kapita Selekta Kedokteran,2001).
Katarak adalah opasitas  lensa kristalina yang normalnya jernih. Biasanya terjadi akibat proses penuaan tapi dapat timbul pada saat kelahiran (katarak congenital) ( Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8, 2001)
Katarak adalah kekeruhan pada lensa kristalina atau kapsulnya. Keadaan ini bisa congenital, sinilis, traumatic atau disebabkan oleh  defek metabolism, khususnya diabetes mellitus. Hard Cataract katarak yang mengandung nucleus yang keras, cenderung berwarna gelap dan terjadi pada orang – orag lanjut usia. Soft Cataract katarak tanpa nucleus yang keras dan dapat terjadi pada segala usia, tetapi terutama di jumpai pada orang mudah. Cataract biasanya terjadi perlahan – lahan dan ketika menjadi matur disebut ripe cataract (Kamus Keperawatan Edisi 17, 1999).

B.       Insiden
Paling sering terjadi pada orang berusia lebih dari 70 tahun.

C.       Epidemologi
Berdasarkan data dari  World Health Organization  (WHO), katarak merupakan kelainan mata  yang menyebabkan kebutaan dan gangguan penglihatan yang paling sering ditemukan seperti pada gambar dibawah yakni:
Katarak memiliki derajat kepadatan yang sangat bervariasi dan  dapat disebabkan oleh berbagai hal, biasanya akibat proses degenatif. Pada penelitian yang dilakukan di amerika serikat didapatkan adanya 10% orang menderita katarak, dan prevalensi ini meningkat sampai 50% pada mereka yang berusia 65-75 tahun dan meningkat lagi sekitar 70% pada usia 75 tahun. Katarak congenital, katarak traumatic dan katarak jenis jenis lain lebih jarang ditemukan.

D.      Klasifikasi
1.         Berdasarkan pada usia, katarak dapat diklasifikasikan menjadi :
a.         Katarak Kongenital, sejak sebelum berumur 1 tahun sudah terlihat disebabkan oleh infeksi virus yang dialami ibu pada saat usia kehamilan masih dini.
b.        Katarak Juvenil, Katarak yang lembek dan terdapat pada orang muda, yang mulai terbentuknya pada usia kurang dari 9 tahun dan lebih dari 3 bulan. Katarak juvenil biasanya merupakan kelanjutan katarak kongenital. Katarak juvenil biasanya merupakan penyulit penyakit sistemik ataupun metabolik dan penyakit lainnya (Ilyas Sidarta,2007: Ilmu Penyakit Mata, ed. 3)
c.         Katarak Senil, setelah usia 50 tahun akibat penuaan. Katarak senile biasanya berkembang lambat selama beberapa tahun, Kekeruhan lensa dengan nucleus yang mengeras akibat usia lanjut yang biasanya mulai terjadi pada usia lebih dari 60 tahun. (Ilyas Sidarta,2007: Ilmu Penyakit Mata, ed. 3)
2.         Berdasarkan penyebabnya, katarak dapat dibedakan menjadi:
a.         Katarak traumatika
Katarak terjadi akibat rudapaksa atau trauma baik karena trauma tumpul maupun tajam. Rudapaksa ini dapat mengakibatkan katarak pada satu mata ( Katarak monocular). Penyebab katarak ini antara lain karena radiasi sinar-X, radioaktif, dan benda asing.
b.        Katarak toksika
Merupakan katarak yang terjadi akibat adanya pajanan dengan bahan kimia tertentu. Selain itu, katarak ini dapat juga terjadi karena penggunaan obat seperti kortikosteroid dan chlorpromazine.
c.         Katarak komplikata
Katarak terjadi akibat gangguan sistemik seperti diabetes mellitus, hipoparatiroidisme, atau akibat kelainan local seperti uveitis, glaucoma, dan myopia atau proses degenerasi pada satu mata lainnya.
3.         Berdasarkan stadium, katarak senile dapat dibedakan menjadi:
1.        Katarak insipient
Merupakan stadium awal katarak yaitu kekeruhan yang tida teratur. Klien mengeluh gangguan penglihatan seperti melihat ganda pada pengihatan satu mata. Pada stadium ini, proses degenerasi belum menyerap cairan sehingga bilik mata disertai kekeruhan ringan pada lensa. Belum terjadi gangguan tajam penglihatan.
2.        Katarak imatur
Lensa mulai menyerap cairan sehinga lensa agak cembung, menyebabkan terjadinya myopia, dan iris terdorong ke depan serta bilik mata depan menjadi dangkal. Sudut bilik mata depan dapat tertutup sehingga mungkin timbul glaucoma sekunder.
3.        Katarak matur
Merupakan proses degenerasi lanjut lensa. Pada stadium ini, terjadi kekeruhan lensa. Tekanan cairan dalam lensa sudah dalam keadaan seimbang dengan cairan dalam mata sehingga ukuran lensa akan normal kembali. Tajam penglihatan sudah menurun dan hanya tinggal proyeksi sinar positif.
4.        Katarak hipermatur
Pada stadium ini, terjadi proses degenerasi lanjut lensa dan korteks lensa dapat mencair sehingga nucleus lensa tenggelam di dalam korteks lensa. Pada stadium ini, dapat juga terjadidegenerasi kapsul lensa sehingga bahan lensa maupun korteks lensa yang cair dapat masuk ke dalam bilik mata depan. Bahan lensa dapat menutup jalan kelar cairan bilik mata depan sehingga timbul glaucoma fakolitik.

E.       Etiologi
Diklasifikasikan menurut penyebab :
1.         Katarak Senil
Perubahan kimia di protein lensa pada pasien lansia.
2.         Katarak Kongenital
a.         Kesalahan metabolisme bawaan
b.        Infeksi rubella ibu pada trimester pertama
c.         Anomali kongenital
d.        Penyebab genetic ( biasanya dominan autosomal)
e.         Katarak resesif dapat terpaut seks.
3.         Katarak Traumatik
Benda asing menyebabkan humor aqueus humor atau vitreus masuk ke kapsul lensa.
4.         Katarak komplikasi
a.         Uveitis
b.        Glaukoma
c.         Pigmentosa retinitis
d.        Ablasio retina
e.         Diabetes
f.         Hipoparatiroidisme
g.        Dermatitis Atopik
h.        Ionisasi radiasi atau sinar infra merah
5.         Katarak toksik
Toksisitas obat atau zat kimia :
a.         Ergot
b.        Dinitrofenol
c.         Naftalin
d.        Fenotiazin

F.        Patofisologi
Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih, transparan, berbentuk seperti kancing baju, mempunyai kekuatan refraksi yang besar. Lensa mengandung tiga komponen anatomis. Pada zona sentral terdapat nucleus, di perifer ada korteks, dan yang mengelilingi keduanya adalah kapsul anterior dan posterior.
Dengan bertambahnya usia, nucleus mengalami perubahan warna menjadi coklat kekuningan. Disekitar opasitas terdapat densitas seperti duri di anterior dan posterior nucleus. Opasitas pada kapsul posterior merupakan bentuk katarak yang paling bermakna Nampak seperti Kristal salju pada jendela.
Perubahan fisik dan kimia pada lensa mengakibatkan hilangnya trasnparansi. Perubahan pada serabut halus sekitar daerah di sekitar luar lensa, misalnya dapat menyebabkan penglihatan menjadi distorsi. Perubahan kimia dalam protein lensa dapat menyebabkan koagulasi, sehingga mengabutkan pandangan dengan menghambat jalannya cahaya ke retina. Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal terjadi disertai influx air ke dalam lensa. Protein ini mematahkan serabut lensa yang tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim mempunyai peran dalam melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim akan menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien yang menderita katarak.
Katarak biasanya terjadi bilateral, namun sebenarnya merupakan konsekuensi dari proses penuaan yang normal. Kebanyakan katarak berkembang secara kronik dan matang ketika orang memasuki dekade ke tujuh. Katarak dapat bersifat congenital dan harus diidentifikasi awal, karena bila tidak terdiagnosa dapat menyebabkan ambliopia dan kehilangan penglihatan permanen. Faktor yang paling sering berperan dalam terjadinya katarak meliputi radoasi sinar ultraviolet B, obat-obatan, alcohol, merokok, diabetes dan asupan vitamin antioksidan yang kurang dalam jangka panjang waktu lama.

G.      Manifestasi Klinik
1.         Gejala subjektif dari pasien dengan katarak antara lain:
a.         Biasanya klien melaporkan penurunan ketajaman penglihatan dan silau serta gangguan fungsional yang diakibatkan oleh kehilangan penglihatan tadi.
b.        menyilaukan dengan distorsi bayangan dan susah melihat di malam hari.
2.         Gejala objektif biasanya meliputi:
a.         Pengembunan seperti mutiara keabuan pada pupil sehingga retina tak akan tampak dengan oftalmoskop. Ketika lensa sudah menjadi opak, cahaya akan dipendarkan dan bukannya ditransmisikan dengan tajam menjadi bayangan terfokus pada retina. Hasilnya adalah pandangan menjadi kabur atau redup.
b.        Pupil yang normalnya hitam akan tampak abu-abu atau putih. Pengelihatan seakan-akan melihat asap dan pupil mata seakan akan bertambah putih.
c.         Pada akhirnya apabila katarak telah matang pupil akan tampak benar-benar putih ,sehingga refleks cahaya pada mata menjadi negatif.
3.      Gejala umum gangguan katarak meliputi: 
a.         Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek.
b.        Gangguan penglihatan bisa berupa:
1)        Peka terhadap sinar atau cahaya.
2)        Dapat melihat dobel pada satu mata (diplobia).
3)        Memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca.
4)        Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.

H.      Komplikasi
1.         Kehilangan penglihatan total.
2.         Komplikasi pembedahan yang mungkin: Penurunan cairan vitreus, Dehisens luka, Hifema, Glukoma yang menyumbat pupil, Ablasio retina, Infeksi
3.         Komplikasi pasca operasi: Luka yang tidak sempurna menutup, Edema kornea, Inflamasi dan uveitis, Atonik pupil, Pupillary captured, Masalah yang berkaitan dengan IOL, Kekeruhan kapsul posterior, TASS (toxic anterior segment syndrom), Capsular bag distention syndrom, Sisa massa lensa/korteks.

I.         Penatalaksanaan
Tidak ada terapi obat untuk katarak, dan tak dapat diambil dengan pembedahan laser. Namun masih terus dilakukan penelitian mengenai kemajuan prosedur laser baru yang dapat digunakan untuk mencairkan sebelum dilakukan pengisapan keluar melalui kanula (Pokalo, 1992).
Bila penglihatan dapat dikoreksi dengan dilator pupil dan refraksi kuat sampai ke titik di mana pasien melakukan aktivitas hidup sehari-hari, maka penanganan biasanya konservatif.
Pembedahan diindikasikan bagi mereka yang memerlukan penglihatan akut untuk bekerja atau keamanan. Biasanya diindikasikan bila koreksi tajam penglihatan terbaik yang dapat dicapai adalah 20/50 atau lebih buruk lagi, bila ketajaman pandang mempengaruhi keamanan atau kualitas hidup, atau bila visualisasi segmen posterior sangat perlu untuk mengevaluasi berbagai perkembangan penyakit retina atau saraf optikus, seperti pada diabetes atau glaucoma.
Pembedahan kataraka adala pembedahan yang paling sering dilakukan pada orang berusia lebih dari 65 tahun. Masa kini, katarak paling sering diangkat dengan anastesi local. Obat penghilang cemas dapat diberikan untuk mengatasi perasaan klaustrofobia sehubungan dengan drapping bedah. Anastesi umum dilakukan bagi yang tak bisa meneriva anastesi local, yang tak mampu bekerja sama dengan alasan fisik atau psikologis atau yang tak berespon terhadap anastesi local.
Ada dua macam teknik pembedahan tersedia untuk pengangkatan katarak, yakni :
1.         Ekstraksi Katarak Intrakapsular ( ICCE)
Ekstraksi katarak intrakapsular adalah pengangkatan seluruh lensa sebagai satu kesatuan. Setelah zonula dipisahkan, lensa diangkat dengan cryoprobe yang diletakkan secara langsung pada kapsula lentis. Bedah beku berdasar pada suhu pembekuan untuk mengangkat suatu lesi atau abnormalitas. Ketika cryoprobe diletakkan secara langsung paa kapsula lentis, kapsul akan melekat pada probe. Lensa diangkat secara lembut.
2.         Ekstraksi Katarak Ekstrakapsular  (ECCE)
Ekstraksi Katarak Ekstrakapsular merupakan teknik yang paling disukai dan mencapai 98% pembedahan katarak. Prosedur ini meliputi pengambilan kapsula anterior, menekan keluar nucleus lentis, dan mengisap sisa fragmen kortikal lunak menggunakan irigasi dan alat isap. Dengan meninggalkan kapsula posterior dan zonula lentis tetap utuh, dapat mempertahankan arsitektur bagian posterior mata, jadi mengurangi insidensi komplikasi yang serius. 
Fakoemulsifikasi merupakan penemuan terbaru pada ekstraksi ekstrakapsular. Cara ini memungkinkan lensa melalui insisi yang lebih kecil dengan menggunakan alat ultra sound frekwensi tinggi untuk memecah nucleus dan korteks lensa menjadi partikel kecil yang kemudian di aspirasi melalui alat yang sama yang juga memberikan irigasi kontinus.
Kaca mata apakia  mampu memberikan pandangan sentral  yang baik. Namun pembesaran 25% sampai 30%, menyebabkan penurunan dan distorsi pandangan perifer, yang menyebabkan kesulitan dalam memahami relasi spasial, membuat benda-benda Nampak jauh lebih dekat dari yang sebenarnya.
Lensa Kontak jauh lebih aman dari kaca mata apakia. Tak terjadi pembesaran yang bermakna (5% sampai 10%), tak terdapat abrasi sferis, tak ada penurunan lapang pandangan dan tak ada kesalahan orientasi special. Lensa jenis ini memberikan rehabilitasi visual yang hampir sempurna.
         Implan Lensa Intraoluler (IOL) memberikan alternative bagi lensa apakia yang tebal dan berat untuk mengoreksi penglihatan pasca operasi.

J.         Pemeriksaan Penunjang
a.         Kartu mata snellen /mesin telebinokuler : mungkin terganggu dengan kerusakan kornea, lensa, akueus/vitreus humor, kesalahan refraksi, penyakit sistem saraf, penglihatan ke retina.
b.         Lapang Penglihatan : penuruan mngkin karena massa tumor, karotis, dan glukoma.
c.         Pengukuran Tonografi : TIO (12 – 25 mmHg)
d.        Pengukuran Gonioskopi membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup glukoma.
e.         Tes Provokatif : menentukan adanya/ tipe gllukoma
f.          Oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler, atrofi lempeng optik, papiledema, perdarahan.
g.         Darah lengkap, LED : menunjukkan anemi sistemik / infeksi.
h.         EKG, kolesterol serum, lipid
i.           Tes toleransi glukosa : kotrol DM
j.           Keratometri.

K.      Prognosis
Dengan tehnik bedah yang mutakhir, komplikasi atau penyulit menjadi sangat jarang. Hasil pembedahan yang baik dapat mencapai 95%. Pada bedah katarak resiko ini kecil dan jarang terjadi.  Keberhasilan tanpa komplikasi pada pembedahan dengan  ECCE  atau fakoemulsifikasi menjanjikan prognosis dalam penglihatan dapat meningkat hingga 2 garis pada pemeriksaan dengan menggunakan snellen chart.

L.       Pencegahan
Untuk memperlambat terjadinya katarak dibutuhkan upaya mengurangi pajanan terhadap factor perusak antara lain factor  factor ekstrinsik seperti factor lingkungan, cahaya UV, Trauma, merokok, nutrisi dan sebagainya.
Beberapa hal yang dihindari untuk pencegahan katarak adalah menghindari sinar matahari langsung, tidak merokok dan menghindari asap rokok, mengurangi berat badan dengan berat badan orang yang berlebih, menghindari penggunaan obat – obat steroid, menghindari makanan yang tengik dan sumber radikal bebas lain, mengurangi asupan lemak hewan, menghindari semua makanan yang merupakan produk akhir, menghindari minum alcohol.
Beberapa anjuran untuk pencegahan katarak melalui nutrisi antara lain dengan mengonsumsi buah dan sayuran lebih dari 3,5 porsi sehari, makan lebih banyak makanan yang mengandung tinggi asam amino sulfur (lebih banyak biji – bijian dan legumens) dan menggunakan banyak bumbu dan tumerik dan curcumin.
Mengonsumsi vitamin dan mineral yang mengandung vit. B1, vitamin C, vitamin E, Beta Karoten, Zink, Copper dan selenium. Dosis vitamin dan mineral diberikan dengan pengawasan dan nasehat tenaga kesehatan.
Khusus untuk pekerja, selain harus memperhatikan pencegahan umum diatas, juga harus memperhatikan pencegahan khusus terhadap trauma langsung yaitu ketika berada di lingkungan kerja maka pengusaha dan pekerja perlu memperhatikan keselamatn kerja. Perlindungan mata dan wajah diperlukan pada pekerjaan dengan kemungkinan bermacam – macam bahaya termasuk objek yang melayang ( Serpihan Logam, batu, pasir atau kerikil dari proses penggurindaan) semburan cairan korosif, logam cair, debu dan radiasi. Untuk mencegah mata terkena trauma langsung diperlukan kombinasi antara peralatan yang aman dan pelindung diri yang memadai dan atau posisi (jarak) kerja dan pekerja.
Selain pencegahan diatas juga terdapat pencegahan yang lain yang dapat dilakukan yaitu 80 persen kebutaan atau gangguan penglihatan mata dapat dicegah atau dihindari. Edukasi dan promosi tentang masalah mata dan cara mencegah  gangguan kesehatan mata.  sebagai sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan. Usaha itu melipatkan berbagai pihak, termasuk media massa, kerja sama pemerintah, LSM, dan Perdami.
Katarak dapat dicegah, di antaranya dengan menjaga kadar gula darah selalu normal pada penderita  diabetes mellitus, senantiasa menjaga kesehatan mata, mengonsumsi makanan yang dapat melindungi kelainan degeneratif pada mata dan antioksidan seperti buah-buahan banyak yang mengandung vitamin C, minyak sayuran, sayuran hijau, kacang-kacangan, kecambah, buncis, telur, hati dan susu yang merupakan makanan dengan kandungan vitamin E, selenium, dan tembaga tinggi. Vitamin C dan E dapat memperjelas penglihatan. Vitamin C dan E merupakan antioksidan yang dapat meminimalisasi kerusakan oksidatif pada mata, sebagai salah satu penyebab katarak. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 3.000 orang dewasa selama lima tahun menunjukkan, orang dewasa yang mengonsumsi multivitamin atau suplemen lain yang mengandung vitamin C dan E selama lebih dari 10 tahun, ternyata risiko terkena katarak 60% lebih kecil Seseorang dengan konsentrasi plasma darah yang tinggi oleh dua atau tiga jenis antioksidan ( vit C, vit E, dan  karotenoid) memiliki risiko terserang katarak lebih rendah dibandingkan orang yang konsentrasi salah satu atau lebih antioksidannya lebih rendah.
Hasil penelitian lainnya yang dilakukan Farida (1998-1999) menunjukkan, masyarakat yang pola makannya kurang  riboflavin  (vitamin B2) berisiko lebih tinggi terserang katarak. Menurut Farida,  ribovlafin  memengaruhi aktivitas enzim  glutation reduktase. Enzim ini berfungsi mendaur ulang  glutation  teroksidasi menjadi  glutation  tereduksi, agar tetap menetralkan radikal bebas atau oksigen.



KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A.      Pengkajian
Tahap ini merupakan tahap awal dalam proses keperawatan dan menentukan hasil dari tahap berikutnya. Pengkajian dilakukan secara sistematis mulai dari pengumpulan data, identifikasi dan evaulasi status kesehatan klien.
1.         Aktifitas Istirahat: Perubahan aktifitas biasanya/hobi  sehubungan dengan gangguan penglihatan.
2.         Neurosensori: Gangguan penglihatan kabur/tak jelas, sinar terang menyababkan silau dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer, kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat/merasa diruang gelap. Penglihatan berawan/kabur, tampak lingkaran cahaya/pelangi di sekitar sinar, perubahan kacamata, pengobatan tidak memperbaiki penglihatan, fotofobia (glukoma akut).
Tanda: Tampak kecoklatan atau putih susu pada pupil (katarak), pupil menyempit dan merah/mata keras dan kornea berawan (glukoma darurat, peningkatan air mata.
3.         Nyeri/Kenyamanan : Ketidaknyamanan ringan/mata berair. Nyeri tiba-tiba/berat menetap atau tekanan pada atau sekitar mata, sakit kepala
4.          Pola aktivitas/istirahat: perubahan aktivitas biasanya/hoby sehubungan dengan gangguan penglihatan.
5.         Pola nutrisi: Mual/muntah (glaukoma akut)
6.         Pola neurosensory
Gejala: Gangguan penglihatan (kabur/tak jelas), sinar terang menyebabkan silau dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer,kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat/ merasa diruang gelap.
7.         Pola penyuluhan/pembelajaran
Gejala: Riwayat keluarga glaukoma, diabetes, gangguan sistem vaskuler, riwayat stress, alergi, ketikseimbangan endokrin, terpajan pada radiasi, steroid/toksisitas fenotiazin.
B.       Diagnosa keperawatan
1.         Risiko tinggi terhadap cedera b/d peningkatan TIO, perdarahan intraokuler, kehilangan vitreous
2.         Resiko tinggi terhadap infeksi b/d prosedur invasive.
3.         Gangguan sensori persepsi perceptual b/d gangguan penerimaan sensori/status organ indra.
4.         Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis,pengobatan b/d tidak mengenal sumber informasi, salah interpretasi informasi, kurang terpajan/mengingat, keterbatan kognitif.
5.         Ketakutan atau ansietas yang b/d kerusakan sensori dan kurangnya pemahaman mengenai perawatan pasca operatif, pemberian obat.
6.         Nyeri b/d trauma, peningkatan TIO, inflamasi intervensi bedah atau pemberian tetes mata dilator.

C.       Intervensi keperawatan
1.         Diagnosa 1 : Risiko tinggi terhadap cedera b/d peningkatan TIO, perdarahan intraokuler, kehilangan vitreous
Tujuan : Pasien tidak  mengalami perdarahan intraokuler, kehilangan
              vitreous dan T IO pasien tidak meningkat
Kriteria Hasil :
a.         Menyatakan pemahaman factor yang terlibat dalam kemungkinan cedera
b.        Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan factor resiko dan untuk melindungi diri dari cedera.
c.         Mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan.
              Intervensi :
1.        Diskusikan apa yang terjadi pada pasca operasi tentang nyeri, pembatasan aktivitas, penampilan balutan mata.
Rasional : membantu mengurangi rasa takut dan meningkatkan kerjasama dalam pembatasan yang diperlukan
2.        Beri pasien posisi bersandar, kepala tinggi atau miring ke sisi yang tidak sakit sesuai keinginan.
Rasional : Istirahat hanya beberapa menit sampai beberapa jam pada bedar rawat jalan atau menginap semalam bila terjadi komplikasi. Menurunkan tekanan pada mata yang sakit, meminimalkan resiko perdarahan atau stress pada jahitan/jahitan terbuka.
3.        Batasi aktivitas seperti menggerakkan kepala tiba – tiba, menggaruk mata, membongkok.
Rasional : menurunkan stress pada area operasi/ menurunkan tekanan intra okular      (TIO).
4.        Ambulasi dengan bantuan, berikan kamar mandi khusus bila sembuh dari anastesi.
 Rasional : memerlukan sedikit regangan  daripada penggunaan pispot, yang dapat meningkatkan TIO.
5.        Dorong napas dalam, batuk untuk bersihan paru
 Rasional : Batuk meningkatkan tekanan TIO.
6.        Anjurkan menggunakan teknik manajemen stress
Rasional : meningkatkan relaksasi dan koping, penurunan TIO.
7.         Pertahankan perlindungan mata sesuai indikasi
Rasional : digunakan untuk melindungi dari cedera
8.         Minta pasien untuk memebdakan antara ketidaknyamanan dan nyeri mata tajam tiba – tiba. Selidiki kegelisahan, disorientasi, gangguan balutan. Observasi himefa (perdarahan pada mata) pada mata dengan senter sesuai indikasi.
Rasional : Ketidaknyamanan mungkin karena prosedur pembedahan, nyeri akut menunjukkan TIO dan/atau perdarahan, terjadi karena regangan atau tidak diketahui penyebabnya ( jaringan sembuh banyak vaskularisasi, dan kapiler sangat rentan).
9.        Observasi pembengkakan luka, bilik anterior kemps, pupil berbentuk buah pir.
Rasional : menunjukan prolaps iris atau rupture luka disebabkan oleh kerusakan jahitan atau tekanan mata.
10.    Kolaborasi pemberian obat analgetik
Rasional: mengurangi rasa nyeri dan memudahkan kerja sama untuk intervensi lainnya.
2.         Diagnosa 2 : Resiko tinggi terhadap infeksi b/d prosedur invasive.
Tujuan : Pasien tidak mengalami infeksi.
Kriteria Hasil :
a.         Meningkatkan penyembuhan luka tepat waktu, bebas drainase purulen,eritema dan edema.
b.        Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/ menurunkan risiko infeksi.
Intervensi :
1.        Diskusikan pentingnya cuci tangan sebelum menyentuh/mengobati mata.
Rasional : menurunkan jumlah bakteri pada tangan, mencegah kontaminasi area operasi.
2.        Gunakan/tunjukkan teknik yang tepat untuk membersihkan mata dari dalam ke luar dengan tisu basah/bola kapas untuk tiap usapan, ganti balutan, dan masukan lensa kontak bila menggunkan.
Rasional : teknik aseptic menurunkan risiko penyebaran bakteri dan kontaminasi silang.
3.        Tekankan pentingnya tidak menyentuh/menggaruk mata yang dioperasi.
Rasional : mencegah kontaminasi dan kerusakan sisi operasi.
4.        Observasi/diskusikan tanda terjadinya infeksi
Rasional : Infeksi mata terjadi 2 sampai 3 hari setelah prosedur dan memerlukan upaya intervensi. Adanya ISK meningkatkan risiko kontaminasi silang.
5.        Kolaborasi pemberian antibiotik
Rasional: untuk mencegah terjadinya infeksi
3.         Diagnosa 3: Gangguan sensori persepsi perceptual b/d gangguan penerimaan sensori/status organ indra.
Tujuan : Ketajaman penglihatan meningkat
Kriteria Hasil :
a.       Meningkatkan ketajaman penglihatan dalam batas situasi individu.
b.      Mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap perubahan.
c.       Mengidentifikasi potensial bahaya dalam linkungan.
Intervensi :      
1.      Tentukan ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau kedua mata terlibat.
Rasional : Kebutuhan individu dan pilihan intervensi bervariasi sebab kehilangan penglihatan terjadi lambat dan progresif. Bila bilateral, tiap mata dapat berlanjut pada laju yang berbeda, tetapi biasanya hanya satu mata diperbaiki per prosedur.
2.      Orientasikan pasien terhadap lingkungan, staf, orang lain diareanya.
Rasional : memberikan peningkatan kenyamanan dan kekeluargaan, menurunkan cemas dan disorientasi pascaoperasi.
3.      Observasi tanda tanda dan gejala disorientasi; pertahankan pagar tempat tidur sampai benar benar sembuh dari anastesia.  
Rasional : Terbangun dalam lingkungan yang tidak dikenal dan mengalami keterbatasan penglihatan dapat mengakibatkan bingung pada orang tua. Menurunkan risiko jatuh bila pasien bingung/tak kenal ukuran tempat tidur.
4.      Pendekatan dari sisi yang tak dioperasi, bicara dan menyentuh  sering; dorong orang terdekat tinggal dengan pasien.
Rasional : memerikan rangsangan, sensori tepat terhadap isolasi dan menurunkan bingung.
5.      Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur dan iritasi mata, dimana dapat terjadi bila menggunakan tetes mata.
Rasional : Gangguan penglihatan/iritasi dapat berakhir 1 – 2 jam setelah tetesan mata tetapi secara bertahap menurun dengan penggunaan.
6.      Ingatkan pasien menggunakan kacamata katarak yang tujuannya memperbesar kurang lebih 25%, penglihatan perifer hilang, dan buta titik mungkin ada.
Rasional : Perubahan ketajaman dan kedalaman persepsi dapat menyebabkan bingung penglihatan/meningkatkan risiko cedera sampai pasien belajar untuk mengkompensasi.
7.      Letakkan barang yang dibutuhkan/posisi bel pemanggil dalam jangkauan pada sisi yang tidak dioperasi.
Rasional : memungkinkan pasien melihat objek lebih mudah dan memudahkan panggilan untuk pertolongan bila diperlukan.
4.         Diagnosa 4: Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis,pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi, salah interpretasi informasi, kurang terpajan/mengingat, keterbatan kognitif.
Tujuan : Klien dapat mengerti tentang penyakitnya.
Kriteria Hasil :
a.       Menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan pengobatan.
b.      Melakukan dengan benar prosedur dan menjelaskan alasan tindakan.
Intervensi :
1.      Kaji informasi tentang kondisi individu, prognosis, tipe prosedur/lensa.
Rasional : meningkatkan pemahaman dan meningkatkan kerja sama dengan program pascaoperasi.
2.      Tekankan pentingnya evaluasi perawatan rutin. Beri tahu untuk melaporkan penglihatan berawan.
Rasional : Pengawasan periodik menurunkan risiko komplikasi serius.              
3.      Informasikan pasien untuk menghindari tetes mata yang dijual bebas.
Rasional : Dapat bereaksi silang/campur dengan obat yang diberikan.
4.      Diskusikan kemungkinan efek/interaksi antara obat mata dan masalah medis pasien. Ajarkan metode yang tepat memasukkan obat tetes untuk meminimalkan efek sistemik.
Rasional : tindakan yang benar dapat membatasi absorpsi dalam sirkulasi sistemik, meminimalkan masalah seperti interaksi obat dan efek sistemik tidak diinginkan.
5.     Anjurkan pasien menghindari membaca, berkedip, mengangkat berat, mengejan saat defekasi, membongkok pada panggul, meniup hidung, penggunaan sprei, bedak bubuk, Verokok (sendiri/orang lain).
Rasional : Aktivitas yang menyebabkan mata lelah, regang, maneuver valsalva, atau meningkatkan TIO dapat mempengaruhi hasil bedah yang mencetuskan perdarahan.
6.    Dorong aktivitas pengalih seperti mendengar radio, berbincang - bincang, menonton televisi.
Rasional : memberikan masukan sensori, mempertahankan rasa normalitas, melalui waktu lebih mudah bila tidak mampu menggunakan penglihatan secara penuh.
7.     Anjurkan pasien memeriksa ke dokter tentang aktivitas seksual.
Rasional : Dapat meningkatkan TIO, menyebabkan cedera kecelakaan pada mata.
8.     Tekankan kebutuhan untuk menggunakan kaca pelindung selama hari pembedahan/penutup mata pada malam.
Rasional : mencegah cedera kecelakaan pada mata dan menurunkan risiko peningkatan TIO sehubungan dengan berkedip atau posisi kepala.
9.    Anjurkan pasien tidur telentang, mengatur intensitas lampu dan menggunakan kacamata gelap bila keluar/dalam ruangan terang, keramas dengan kepala belakang (bukan kedepan), batuk dengan mulut/mata terbuka.
Rasional :  mencegah cedera kecelakaan pada mata.
10.   Anjurkan mengatur posisi pintu sehingga mereka terbuka atau tertutup penuh, pindahkan perabot dari lalu lalang jalan.
Rasional : menurunkan penglihatan perifer atau gangguan kedalaman persepsi dapat menyebabkan pasien jalan kedalam pintu yang terbuka sebagai atau menabrak perabot.
11.  Dorong pemasukan cairan adekuat, makan berserat/kasar, gunakan pelunak feses yang dijual bebas, bila diinginkan.
Rasional : mempertahankan konsistensi feses untuk menghindari mengejan.
12.   Indikasi tanda/gejala memerlukan upaya evaluasi medis.
Rasional : Intervensi dini dapat mencegah terjadinya komplikasi serius, kemungkinan kehilangan penglihatan.
5.         Diagnose 5: Ketakutan atau ansietas yang berhubungan dengan kerusakan sensori dan kurangnya pemahaman mengenai perawatan pasca operatif, pemberian obat.
Tujuan : Penurunan stress emosional, ketakutan dan depresi, penerimaan pembedahan dan pemahaman instruksi.
Kriteria Hasil :
a.         Mengucapkan pemahaman mengenai informasi yang diterima.
b.        Memakai metode koping dan mampu untuk bersantai.
c.         Tidak kaku atau berinteraksi dengan lingkungan
d.        Mengenali adanya keterbatasan
              Intervensi :
1.      Kaji derajat dan durasi gangguan visual. Dorong percakapan untuk mengetahui keprihatinan pasien, perasaan, dan tingkat pemahaman.
       Rasional : Informasi dapat menghilangkan ketakutan yang tidak diketahui. Mekanisme koping dapat membantu pasien berkompromi dengan kegusaran, ketakutan, depresi, tegang, keputusasaan, kemarahan dan penolakan.


2.      Orientasikan pasien pada lingkungan yang baru.
       Rasional : Pengenalan terhadap lingkungan membantu mengurangi ansietas dan meningkatkan keamanan.
3.        Jelaskan rutinitas perioperatif.
Preoperatif : Tingkat aktivitas, pembatasan diet, obat obatan.
Intra operatif : Pentingnya berbaring diam selama pembedahan atau member peringatan kepada ahli bedah ketika terasa akan batuk atau akan berganti posisi.
Pasca operasi : Pemberian posisi, pembalutan, tingkat aktivitas, pentingnya bantuan untuk ambulasi sampai stabil dan adekuat secara visual.
Rasional :  Pasien yang telah mendapat banyak informasi lebih mudah menerima penanganan dan menerima intruksi.
4.      Jelaskan intervensi sedetil - detilnya, perkenalan diri anda pada setiap interaksi, terjemahkan setiap suara asing, pergunaan sentuhan untuk membantu komunikasi verbal.
Rasional : Pasien yang mengalami gangguan visual bergantung pada masukan indera yang lain untuk mendapatkan informasi.
5.      Dorong untuk menjalankan kebiasaan hidup sehari - hari bila mampu.
Rasional : Perawatan diri dan kemandirian akan meningkatkan rasa sehat.
6.      Dorong partisipasi keluarga atau orang yang berarti dalam perawatan pasien.
Rasional : Pasien mungkin tidak mampu melakukan semua tugas sehubungan dengan penanganan dan perawatan diri.
7.      Dorong partisipasi dalam aktivitas social dan penglihatan bila memungkinkan.
Rasional : Isolasi social dan waktu luang yang terlalu lama dapat menimbulkan perasaan negative.

6.         Diagnosa 6: Nyeri b/d trauma, peningkatan TIO, inflamasi intervensi bedah atau pemberian tetes mata dilator.
Tujuan : Pengurangan nyeri dan TIO.
Kriteria Hasil:
a.    Mengatakan Nyeri dan TIO berkurang.
b.    Mengucapkan peningkatan rasa nyaman.
c.    Mengenakan kaca mata hitam setelah meneteskan tetes mata dilator.
Intervensi :
1.        Berikan obat untuk mengontrol nyeri dan TIO sesuai resep.
Rasional : Pemakaian obat sesuai resep akan mengurangi nyeri dan TIO dan meningkatkan rasa nyaman.            
2.        Kurangi tingkat pencahayaan, cahaya diredupkan diberi tirai/kain.
Rasional : Tingkat pencahayaan yang lebih rendah lebih nyaman setelah pembedahan.
3.        Dorongan penggunaan kaca mata hitam pada cahaya kuat.
Rasional :Cahaya yang kuat menyebabkan rasa tidak nyaman setelah penggunaan tetes mata dilator.




BAB III
TINJAUAN KASUS
A.      PENGKAJIAN.
Pengkajian dilaksanakan pada tanggal 16 Mei 2014 pukul 09.10 WITA. Dengan teknik dokumentasi, wawancara, observasi dan pemeriksaan fisik.
1.         IDENTITAS
a.         Identitas klien
Nama                                         :  Tn. L
Umur                                          : 74 Tahun
Jenis kelamin                              : Laki - laki
Agama                                       :  Islam
Pekerjaan                                   :  Wiraswasta
Alamat                                       : Jl. Zazilia No. 48 Soreang Pare-pare
Diagnosa Medis             :  Os. Katarak Senil
Tgl masuk                                  :  Senin, 12 mei 2014 pukul 11:42
Tgl Pengkajian                           :  16 mei 2014
Pendidikan                                 :  Tamat SD
Status perkawinan.                    :  Sudah Menikah
Perawat yang bertanggung jawab : A. Rosmeni, S.Kep,Ns.
b.         Identitas penanggung jawab
Nama                                         :  Ny. C
Jenis Kelamin                             :  Perempuan
Alamat                                      :  Jl. Zazilia No. 48 Soreang Pare-pare
Agama                                       : Islam
Hubungan dengan Klien            : Istri

2.         KELUHAN UTAMA
a.         Keluhan saat masuk                               : Cemas
b.        Keluhan saat dikaji                                : Nyeri kepala
c.         Riwayat keluhan utama :
       Klien masuk RS dengan keluhan cemas . Pada saat dikaji klien mengatakan kadang mengalami  nyeri kepala. Klien mengatakan nyeri dirasakan hilang timbul. Klien mengatakan nyeri sering timbul pada malam hari. Lokasi nyeri pada daerah kepala. Nyeri dirasakan klien tidak mengganggu aktivitas. Nyeri dirasakan sejak dua  hari yang lalu   ( tgl 14 mei 2014 ).
3.         RIWAYAT KESEHATAN MASA LALU
a.         Klien mengatakan sebelumnya pernah dioperasi di RS. Andi makkasau pare – pare dengan penyakit katarak pada mata sebelah kanan
b.        Klien tidak alergi obat, makanan ataupun zat-zat lain.
c.         Klien mengatakan pernah terkena percikan las pada mata sebelah kanan
d.        Tidak ada riwayat ketergantungan obat (ALKOHOL )
4.       KEADAAN KESEHATAN UMUM
a.         Status kesehatan
Klien tampak lemah, ekspresi wajah dan penampilan sesuai dengan usia. Klien tampak gelisah. 
b.         Pemeriksaan Antropometri
BB  sekarang        : 54 kg
c.         Vital Sign
TD    : 130/60 mmHg
N      : 76x / menit
S       : 36° C
P       : 12 x / menit
d.         PEMERIKSAAN FISIK
1)        Keadaan kulit
a)        Inspeksi: Warna kulit secara umum cokelat, Kulit nampak keriput, Kulit tidak sianosis, Tidak tampak adanya luka
b)        Palpasi: Turgor kulit jelek, Kulit kering            
2)        Kepala dan leher
a)        Kepala
Inspeksi: Distribusi rambut tidak merata, Rambut tampak beruban, Tidak tampak adanya ketombe
b)        Mata
i.           Inspeksi: Konjungtiva anemis, Sclera tidak ikterus, Sclera pada mata sinistra tampak kemerahan, Reaksi pupil ishokor
                                                                 ii.        Palpasi: Tidak terdapat ptosis, Tidak terdapat nyeri tekan
pada mata kiri
c)        Telinga
                                                                 i.       Inspeksi: Tidak terdapat otore, Klien tidak menggunakan alat bantu pendengaran, Fungsi pendengaran kurang baik, Tidak terdapat tanda-tanda infeksi
                                                               ii.       Palpasi: Tidak terdapat nyeri tekan pada daerah tragus, Tidak terdapat benjolan pada daerah sekitar telinga
d)       Hidung dan sinus
i.           InspeksiTidak terdapat peradangan, Tidak terdapat perdarahan pada hidung, Tidak terdapat polip, Hidung tampak simetris
ii.         Palpasi: Tidak terdapat nyeri tekan pada hidung
e)        Mulut dan tenggorokan
i.           Inspeksi: Mulut berwarna hitam, Mulut pecah – pecah (kering), Gigi Nampak kurang bersih dan berwarna kuning, Karies gigi, Lidah tampak berwarna putih, Terdapat peradangan gusi, Struktur gigi tidak lengkap
3)        Dada dan Paru-Paru
Inspeksi : Frekuensi pernapasan 12 x / menit, Irama pernapasan reguler, Pengembangan dada seirama dengan pernapasan
4)        Abdomen
Inspeksi: Kulit cokelat dan tampak keriput
5)      STATUS NEUROLOGIS
Tingkat kesadaran komposmentis , Koordinasi klien baik, tidak terjadi gangguan keseimbangan, Klien mampu mengingat kejadian-kejadian masa lampau, Orientasi baik, klien dapat membedakan waktu, tempat, dan orang.
6)        POLA INTERAKSI SOSIAL
Klien nampak pendiam.
5.         Data Penunjang
a.        Cepadroxil 3x1
b.        Asam mefenamat 3x1
c.         Glaucom 2x1
d.        Ranitidin 2x1
e.         Amlodipin 2x1

PENGUMPULAN DATA
§  Kien mengatakan kadang mengalami  nyeri kepala
§  Vital sign :
TD    : 130/60 mmHg
N      : 76 x/m
P       : 12 x/m
S       : 36°C
§  Klien mengatakan nyeri dirasakan hilang timbul
§  Klien mengatakan nyeri sering timbul pada malam hari
§  Klien mengatakan pernah operasi sebelumnya
§  Klien mengatakan tidak tahu tentang penyakitnya.
§  Klien mengatakan tidak nyeri lagi pada mata.
§  Klien nampak cemas
§  Klien Nampak gelisah
§  Klien Nampak berhati hati saat berjalan
§  Klien Nampak pendiam
§  BB     :54 kg
DATA FOKUS

DATA SUBJEKTIF
DATA OBJEKTIF
§  Kien mengatakan kadang mengalami  nyeri kepala
§  Klien mengatakan nyeri dirasakan hilang timbul
§  Klien mengatakan nyeri sering timbul pada malam hari
§  Klien mengatakan pernah operasi sebelumnya
§  Klien mengatakan tidak nyeri lagi pada mata.
§  Klien mengatakan tidak mengerti tentang penyakitnya.

§  Klien nampak cemas
§  Klien Nampak gelisah
§  Klien Nampak berhati hati saat berjalan
§  Klien Nampak pendiam
§  BB     :54 kg
§  Vital sign :
TD    : 130/60 mmHg
N      : 76 x/m
P       : 12 x/m
S       : 36°C














ANALISA DATA

NO
SYNDROM
ETIOLOGI
PROBLEM
1
§  DS : Kien mengatakan kadang mengalami  nyeri kepala
§  Klien mengatakan nyeri dirasakan hilang timbul
§  Klien mengatakan nyeri sering timbul pada malam hari
§  Klien mengatakan tidak nyeri lagi pada mata.
DO :
§  Vital sign :
TD : 130/60 mmHg
N   : 76x/menit
P    : 12x/menit
S    : 36° C


tindakan bedah (ICCE/ECCE)
 

atau pengangkatan lensa

tindakan invasiv/insisi kornea

merangsang saraf sensoris
trigemineal (SO V)

proses: transduksi
transmisi, modulasi
Persepsi.

Nyeri

1. Nyeri
2
DS :
§  Klien mengatakan tidak mengerti tentang penyakitnya.
DO :
§  Klien tampak gelisah.
§  Klien Nampak berhati hati saat berjalan
§  Klien Nampak pendiam

tindakan bedah (ICCE/ECCE)
atau pengangkatan lensa

Kurang informasi /misinterpretasi
ttg penyakit, pengobatan & prognosis
 

klien sering bertanya ttg penyakitnya
 

         kurang pengetahuan

Kurang pengetahuan





BAB IV
PEMBAHASAN

A.      DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.         Nyeri b/d trauma, peningkatan TIO, inflamasi intervensi bedah atau pemberian tetes mata dilator.
2.         Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis,pengobatan b/d tidak mengenal sumber informasi, salah interpretasi informasi, kurang terpajan/mengingat, keterbatan kognitif.

B.       INTERVENSI KEPERAWATAN
1.         Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis,pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi, salah interpretasi informasi, kurang terpajan/mengingat, keterbatan kognitif.
Tujuan : Klien dapat mengerti tentang penyakitnya.
Kriteria Hasil :
a.         Menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan pengobatan.
b.        Melakukan dengan benar prosedur dan menjelaskan alasan tindakan.
Intervensi :
1.        Kaji informasi tentang kondisi individu, prognosis, tipe prosedur/lensa.
Rasional : meningkatkan pemahaman dan meningkatkan kerja sama dengan program pascaoperasi.
2.        Tekankan pentingnya evaluasi perawatan rutin. Beri tahu untuk melaporkan penglihatan berawan.
Rasional : Pengawasan periodik menurunkan risiko komplikasi serius.              
3.        Informasikan pasien untuk menghindari tetes mata yang dijual bebas.
Rasional : Dapat bereaksi silang/campur dengan obat yang diberikan.
4.        Diskusikan kemungkinan efek/interaksi antara obat mata dan masalah medis pasien. Ajarkan metode yang tepat memasukkan obat tetes untuk meminimalkan efek sistemik.
Rasional : tindakan yang benar dapat membatasi absorpsi dalam sirkulasi sistemik, meminimalkan masalah seperti interaksi obat dan efek sistemik tidak diinginkan.
5.   Anjurkan pasien menghindari membaca, berkedip, mengangkat berat, mengejan saat defekasi, membongkok pada panggul, meniup hidung, penggunaan sprei, bedak bubuk, Verokok (sendiri/orang lain).
Rasional : Aktivitas yang menyebabkan mata lelah, regang, maneuver valsalva, atau meningkatkan TIO dapat mempengaruhi hasil bedah yang mencetuskan perdarahan.
6.        Dorong aktivitas pengalih seperti mendengar radio, berbincang - bincang, menonton televisi.
Rasional : memberikan masukan sensori, mempertahankan rasa normalitas, melalui waktu lebih mudah bila tidak mampu menggunakan penglihatan secara penuh.
7.        Anjurkan pasien memeriksa ke dokter tentang aktivitas seksual.
Rasional : Dapat meningkatkan TIO, menyebabkan cedera kecelakaan pada mata.
8.        Tekankan kebutuhan untuk menggunakan kaca pelindung selama hari pembedahan/penutup mata pada malam.
Rasional : mencegah cedera kecelakaan pada mata dan menurunkan risiko peningkatan TIO sehubungan dengan berkedip atau posisi kepala.
9.        Anjurkan pasien tidur telentang, mengatur intensitas lampu dan menggunakan kacamata gelap bila keluar/dalam ruangan terang, keramas dengan kepala belakang (bukan kedepan), batuk dengan mulut/mata terbuka.
Rasional :  mencegah cedera kecelakaan pada mata.
10.    Anjurkan mengatur posisi pintu sehingga mereka terbuka atau tertutup penuh, pindahkan perabot dari lalu lalang jalan.
Rasional : menurunkan penglihatan perifer atau gangguan kedalaman persepsi dapat menyebabkan pasien jalan kedalam pintu yang terbuka sebagai atau menabrak perabot.
11.   Dorong pemasukan cairan adekuat, makan berserat/kasar, gunakan  pelunak feses yang dijual bebas, bila diinginkan.
Rasional : mempertahankan konsistensi feses untuk menghindari mengejan.
12.   Indikasi tanda/gejala memerlukan upaya evaluasi medis.
Rasional : Intervensi dini dapat mencegah terjadinya komplikasi serius, kemungkinan kehilangan penglihatan.
2.         Nyeri b/d trauma, peningkatan TIO, inflamasi intervensi bedah atau pemberian tetes mata dilator.
Tujuan : Pengurangan nyeri dan TIO.
Kriteria Hasil:
a.    Mengatakan Nyeri dan TIO berkurang.
b.    Mengucapkan peningkatan rasa nyaman.
c.    Mengenakan kaca mata hitam setelah meneteskan tetes mata dilator.
Intervensi :
1.        Berikan obat untuk mengontrol nyeri dan TIO sesuai resep.
Rasional : Pemakaian obat sesuai resep akan mengurangi nyeri dan TIO dan meningkatkan rasa nyaman.            
2.        Kurangi tingkat pencahayaan, cahaya diredupkan diberi tirai/kain.
Rasional : Tingkat pencahayaan yang lebih rendah lebih nyaman setelah pembedahan.
3.        Dorongan penggunaan kaca mata hitam pada cahaya kuat.
Rasional :Cahaya yang kuat menyebabkan rasa tidak nyaman setelah penggunaan tetes mata dilator.




C.       PERBANDINGAN TEORI INTERVENSI DAN RASIONALITAS LAPANGAN
Antara teori intervensi dengan rasional di lapangan ditemukan sesuai teori bahwa setiap melakukan tindakan memperhatikan standar operasi yang ada di rumah sakit dan saat memberikan asuhan keperawatan tetap memperhatikan prinsip sterilisasi.



BAB V
PENUTUP
BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Katarak adalah opasitas  lensa kristalina yang normalnya jernih. Biasanya terjadi akibat proses penuaan tapi dapat timbul pada saat kelahiran (katarak kongenital). Katarak dapat diklasifikasikan berdasarkan usia dibagi menjadi Katarak congenital, Katarak juvenile, dan  Katarak senile. Sedangkan jika berdasrakan penyebabnya, katarak dapat diklasifikasikan menjadi Katarak komplikata, Katarak toksika dan Katarak traumatika. Dan dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah  Perubahan kimia di protein lensa pada pasien lansia, Kesalahan metabolisme bawaan, Benda asing menyebabkan humor aqueus humor atau vitreus masuk ke kapsul lensa,  Glaukoma, dan Diabetes.
Prevalensi katarak di daerah pedesaan lebih tinggi jika dibandingkan daerah perkotaan. Berdasarkan tingkat pengeluaran perkapita, didapatkan persentasi katarak meningkat pada responden dengan tingkat pengeluaran yang rendah dibandingkan tingkat pengeluaran yang tinggi.
Beberapa hal yang dihindari untuk pencegahan katarak adalah menghindari sinar matahari langsung, tidak merokok dan menghindari asap rokok, mengurangi berat badan dengan berat badan orang yang berlebih, menghindari penggunaan obat – obat steroid, menghindari makanan yang tengik dan sumber radikal bebas lain, mengurangi asupan lemak hewan, menghindari semua makanan yang merupakan produk akhir, menghindari minum alcohol.




B.     Saran
Dengan melihat tingginya prevalensi katarak di pedesaan dari pada di perkotaan, maka sebagai petugas kesehatan harus lebih meningkatkan upaya pencegahan terhadap penyakit khususnya katarak melalui promosi kesehatan dan memberikan motivasi kepada masyarakat agar lebih memperhatikan  kesehatannya dan bagi pemerintah agar dapat menyediakan fasilitas kesehatan pada daerah yang sulit menjangkau tempat pelayanan kesehatan. Sehingga dapat mengurangi prevalensi dari katarak itu sendiri. 





profil rumah sakit umum daerah
lanto dg pasewang jeneponto



A.    Gambaran Umum
Rumah Sakit Umum Daerah Lanto Dg. Pasewang merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dengan standar pelayanan dasar dalam rujukan ditingkat Kabupaten Jeneponto, yang saat ini masih berstatus  Type C. Rumah Sakit Umum Daerah Lanto Dg. Pasewang dibangun diatas lahan seluas 2,0 Ha dan diresmikan penggunaannya oleh Menteri Kesehatan DR.ADHYATMA M.P.H. pada tanggal 18 Januari 1990. Struktur organisasi Rumah Sakit Umum Daerah Lanto Dg. Pasewang mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten Jeneponto No 4 Tahun 2008, tanggal 7 Nopember 2008.
Letak Geografis Rumah Sakit Umum Daerah Lanto Dg. Pasewang Kabupaten Jeneponto terletak pada :
1.    Sebelah utara          : Kabupaten Gowa dan Takalar
2.    Sebelah timur          : Kabupaten Bantaeng
3.    Sebelah selatan       : Laut Flores
4.    Sebelah barat          : Kabupaten Takalar
B.    Sarana dan prasarana
1.    Fisik Bangunan
Luas Tanah RSUD Lanto Dg. Pasewang   :  2,0 Ha
Luas Bangunan Yang ada                          :  2,0 Ha
Bangunan yang ada saat ini meliputi:
a.    Bangunan Kantor                                              : 1 Unit
b.    Instalasi Rawat Jalan terdiri dari:
1)        Poliklinik Umum                             : 1 Unit
2)        Poliklinik Interna                            : 1 Unit
3)        Poliklinik Bedah                             : 1 Unit
4)        Poliklinik Anak                                           : 1 Unit
5)        Poliklinik Kandungan                                 : 1 Unit
6)        Poliklinik Gigi dan Mulut               : 1 Unit
7)        Poliklinik / Konsultasi gizi              : 1 Unit
8)        Poliklinik Rehabilitasi Medik         : 1 Unit
9)        Poliklinik THT                                            : 1 Unit
10)    Poliklinik Mata                                           : 1 Unit
11)    Poliklinik Kulit & Kelamin                         : 1 Unit
12)    Poliklinik Jiwa                                            : 1 Unit
c.    Instalasi Rawat Inap
Instalasi rawat inap terdiri dari :
1)   Perawatan lontara I                           : 1 Unit
2)   Perawatan Lontara II                                    : 2 Unit                       
3)   Perawatan Lontara  III                     : 1 Unit
4)   VIP                                                   : 1 Unit                                   
5)   ICU                                                   : 1 Unit           
6)   RPK (Ruang Perawatan Khusus       : 1 Unit

d.   Instalasi Gawat Darurat ( IGD ) terdiri dari:
1)   Bedah                                                            : 1 Unit           
2)   Non Bedah                                                    : 1 Unit
e.    Pelayanan penunjang medik terdiri dari:
1)   Instalasi Radiologi                            : 1 Unit
2)   Instalasi Laboratorium                      : 1 Unit
3)   Instalasi Farmasi                               : 1 Unit
4)   Instalasi Gizi                                     : 1 Unit
5)   Instalasi IPSRS                                 : 1 Unit
6)   Instalasi pengolahan air limbah         : 1 Unit
2.         Kapasitas tempat tidur sebanyak 185 terdiri dari :
a.Perawatan lontara I                             : 30 TT
b.        Perawatan lontara II                       : 76 TT
c.Perawtan lontara III                : 49 TT
d.        VIP                                                 : 13 TT
e.ICU                                                     : 11 TT
f. Ruang Perawatan Khusus(RPK)        : 6 TT