BAB I
PENDAHULUAN
Katarak merupakan penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan yang dapat dicegah di dunia. Meskipun tindakan operasi merupakan satu-satunya pilihan pengobatan efektif yang ada, namun mengidentifikasi faktor risik katarak akan membantu untuk menentukan langkah-langkah pencegahan dan strategi yang tepat, untuk pencegahan kejadian katarak pada tingkat dini. Berbagai tindakan pencegahan untuk memperlambat terjadinya katarak dapat dilakukan sesuai dengan faktor risiko. Dengan memperhatikan deterrninan katarak pada masyarakat Indonesia maka dapat ditentukan upaya yang diperlukan untuk memperlalnbat terjadinya katarak.
Dari hasil penelitian analisis yang
dilakukan oleh Riset Kesehatan Dasar 2007, faktor resiko terhadap kejadian
katarak, hasilnya bahwa resiko katarak meningkat berdasarkan peningkatan
kelompok umur. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil yang dilaporkan
kepustakaan, bahwa umur adalah faktor risiko utama katarak, dan persentasi
katarak meningkat secara berrnakna sesuai dengan semakin meningkatnya umur.
Pada umur 60
tahun,
diperkirakan separuhnya mengalaini kekeruhan lensa dan pada umur 80 tahun ke
atas hampir semua menderita kekerulian.
Berdasarkan hubungan antara jenis
kelamin dan katarak, diperoleh katarak pada perempuan lebih tinggi dibandingkan
laki-laki. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian lain yang melaporkan
bahwa katarak lebih tinggi pada perempuan. Perempuan berisiko 1,6 1 kali lebih
tinggi menjadi katarak dibandingkan laki-laki. Beberapa ha1 dikemukakan oleh
para peneliti bahwa ha1 ini mungkin berhubungan dengan faktor lain, seperti
kurang baiknya akses kesehatan bagi perempuan dan lebih tingginya angka harapan
hidup pada perempuan di suatu negara.
Risiko katarak pada responden dengan
pendidikan lebih rendah dari SMP meningkat dibandingkan responden dengan
pendidikan SMP ke atas. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
lain yang melaporkan bahwa faktor penyebab katarak salah satunya adalah
rendahnya pendidikan.
Rendahnya
pendidikan kemungkinan berhubungan dengan kurangnya kesadaran responden dalam
ha1 mencari pengobatan
Pada hubungan antara pekerjaan dengan
katarak, ditemukan kejadian katarak lebih tinggi pada responden yang tidak
bekerja dan yang bekerja di luar rumah (outdoor) dibandingkan dengan pekerjaan
di dalam rumah (indoor). Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut; pada
responden yang tidak bekerja lebih banyak yang berusia tua dan selain itu
adanya katarak kemungkinan membatasi kemampuan responden untuk bekerja. Pada
pekerjaan yang dilakukan di luar rumah didapatkan risiko katarak lebih tinggi,
ha1 ini dapat diterangkan adanya pajanan sinar ultra violet dari sinar matahari
pada mata saat bekerja, dan tidak memakai alat pelindung diri pada saat
bekerja.
Dari sudut tempat tinggal, diperoleh
persentasi katarak pada responden di pedesaan lebih tinggi dibandingkan di
perkotaan. Sesuai dengan Data SKRTSURKESNAS 2001 yang melaporkan prevalensi katarak di
daerah pedesaan lebih tinggi jika dibandingkan daerah perkotaan. Kemungkinan di
daerah pedesaan pajanan kronis terhadap sinar matahari lebih banyak. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian lain yang melaporkan bahwa pajanan kronis
terhadap sinar ultra violet (sinar matahari) berhubungan dengan katarak.
Berdasarkan tingkat pengeluaran
perkapita, didapatkan persentasi katarak meningkat pada responden dengan
tingkat pengeluaran yang rendah dibandingkan tingkat pengeluaran yang tinggi.
Hal ini sesuai dengan penelitian lain yang melaporkan bahwa faktor sosial
ekonomi merupakan salah satu faktor risiko katarak. Bagi responden dengan
tingkat pengeluaran yang tinggi lebih memungkinkan bagi mereka untuk mencari
pengobatan dan membayar operasi katarak.
Pada masyarakat Indonesia yang berumur 30 tahun ke atas,
determinan yang paling berperan pada kejadian katarak adalah umur dan penyakit
glaukoma, diikuti oleh DM, pekerjaan utama, pendidikan, jenis kelamin, tempat
tinggal, konsumsi alkohol, merokok, makan buah dan sayur, asupan vitamin A, dan
pengeluaran per kapita RT.
Upaya – upaya pecegahan kebutaan di
Indonesia telah dilaksanakan sejak tahun 1967 ketika kebutaan dinyatakan
sebagai bencana nasional. Waktu itu, upaya diutamakan pada pemberantasan
trachoma dan defisiensi vitamin A. Pada balita masalah kurang vitamin A (KVA)
sudah bukan menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena prevalensi KVA klinis,
yang ditunjukkan oleh prevalensi Xeroftalmia (X1b) menurun dari 1.3% pada tahun
1980 menjadi 0.3% pada tahun 1992. Namun kita perlu waspada karena 50.2% balita
masih menderita KVA subklinis yang ditandai dengan rendahnya serum retinol (serum
retinol <20nngr/dl) yang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup
anak.
Selama krisis ekonomi dan situasi politik yang tidak kondusif, terjadi kecenderungan meningkatnya KVA pada ibu dan balita di daerah miskin perkotaan. Beberapa laporan dari daerah dan data survei yang dilakukan oleh Hellen Keller International (HKI) di beberapa daerah kumuh perkotaan, yaitu di Sumatra Barat, Nusa Tenggara Barat, Lampung, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta pada tahun 1998 mernunjukkan bahwa hampir 10 juga anak balita penderita KVA subklinis, dimana 80.000 diantaranya disertai dengan gejala bercak bitot (Xeroftalmia) yang terancam buta (<0.3%).
Sejak 1984, Upaya Kesehatan Mata/Pencegahan Kebutaan (UKM/PK) sudah diintegrasikan ke dalam kegiatan pokok Puskesmas. Sedangkan program
Selama krisis ekonomi dan situasi politik yang tidak kondusif, terjadi kecenderungan meningkatnya KVA pada ibu dan balita di daerah miskin perkotaan. Beberapa laporan dari daerah dan data survei yang dilakukan oleh Hellen Keller International (HKI) di beberapa daerah kumuh perkotaan, yaitu di Sumatra Barat, Nusa Tenggara Barat, Lampung, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta pada tahun 1998 mernunjukkan bahwa hampir 10 juga anak balita penderita KVA subklinis, dimana 80.000 diantaranya disertai dengan gejala bercak bitot (Xeroftalmia) yang terancam buta (<0.3%).
Sejak 1984, Upaya Kesehatan Mata/Pencegahan Kebutaan (UKM/PK) sudah diintegrasikan ke dalam kegiatan pokok Puskesmas. Sedangkan program
Penanggulangan Kebutaan Katarak
Paripurna (PKKP) dimulai sejak 1987 baik melalui Rumah Sakit (RS) maupun Balai
Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM). Namun demikian, hasil survei tahun 1993-1996
menunjukkan bahwa angka kebutaan meningkat dari 1,2% (1982) menjadi 1,5%
(1993-1996), padahal 90% kebutaan dapat ditanggulangi (dicegah atau diobati).
Disamping itu masalah kebutaan, gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi
dengan prevalensi sebesar 22,1% juga menjadi masalah serius. Sementara 10% dari
66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun) menderita kelainan refraksi. Sampai saat
ini angka pemakaian kacamata koreksi masih rendah yaitu 12,5% dari prevalensi.
Apabila keadaan ini tidak ditangani secara sungguh-sungguh, akan terus berdampak negatif pada perkembangan kecerdasan anak dan proses pembelajarannya yang selanjutnya juga mempengaruhi mutu, kreativitas dan produktivitas angkatan kerja (15-55 tahun), yang diperkurakan berjumlah 95 juta orang (BPS, tahun 2000). Pada gilirannya nanti akan mengganggu laju pembangunan ekonomi nasional yang kini dititikberatkan pada pengambangan dan penguatan usaha kecil menengah (UKM) untuk mengentaskan golongan ekonomi lemah dari kemiskinan.
Apabila keadaan ini tidak ditangani secara sungguh-sungguh, akan terus berdampak negatif pada perkembangan kecerdasan anak dan proses pembelajarannya yang selanjutnya juga mempengaruhi mutu, kreativitas dan produktivitas angkatan kerja (15-55 tahun), yang diperkurakan berjumlah 95 juta orang (BPS, tahun 2000). Pada gilirannya nanti akan mengganggu laju pembangunan ekonomi nasional yang kini dititikberatkan pada pengambangan dan penguatan usaha kecil menengah (UKM) untuk mengentaskan golongan ekonomi lemah dari kemiskinan.
Kondisi-kondisi tersebut sudah menjadi
masalah sosial yang tidak mungkin ditangani sendiri oleh Departemen Kesehatan,
tetapi harus ditanggulangi secara terpadu oleh pemerintah dan seluruh unsur
masyarakat. Lintas Sektor terkait (Departemen Dalam Negeri, Departemen
Pendidikan Nasional, Departemen Agama, Departemen Sosial, Departemen Tenaga
Kerja) diharapkan dapat berperan aktif. Menyadari kondisi tersebut, Presiden
Megawati Soekarnoputri (waktu itu wakil presiden) pada tanggal 15 Februari 2000
telah mencanangkan program WHO: Vision 2020 – The Right to Sight di Indonesia.
Program ini merupakan inisiatif global untuk menanggulangi gangguan penglihatan
dan kebutaan yang sebenarnya dapat dicegah/direhabilitasi. Program ini
dicanangkan di wilayah Asia Tenggara oleh Direktur Regional WHO Daerah Asia
Tenggara pada tanggal 30 September 1999. Pencanangan ini berarti pemberian hak
bagi setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan penglihatan optimal.
Sebagai tindak lanjut atas pencanangan
Vision 2020 dan mendukung tercapainya Indonesia Sehat 2010, dipandang perlu
menyusun rencana strategis nasional yang bersifat lintas sektor dan lintas
profesi. Oleh karena itu pada pelaksanaannya perlu mengacu pada Undang-undangn
yang berlaku, agar dapat dilaksanakan secara komprehensif dan harmonis di pusat
dan daerah. Undang – undang yang dimaksud, diantaranya ialah Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang kebutaan, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah, dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah
Mengingat besarnya masalah kesehatan
indera penglihatan dan menyadarai pentingnya kesehatan indera penglihatan maka
perlu disusun strategi bagi penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan
A. STRATEGI
A. STRATEGI
1. Membentuk Komite
Nasional, Propinsi, dan Kab/Kota Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan
Kebutaan yang berfungsi mengkoordinasikan semua kegiatan dan sumber daya
penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan
2. Meningkatnya
advokasi dan komunikasi lintas sektor/program dalam penanggulangan gangguan
penglihatan dan kebutaan
3. Menggalang
kemitraan dalam penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan
4. Penguatan
manajemen program dan infrastruktur pelayanan dalam rangka penanggulangan
gangguan penglihatan dan kebutaan
5. Peningkatan
kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang terlibat dalam penanggulangan
gangguan penglihatan dan kebutaan
6. Mobilisasi
sumber daya pemerintah, swasta, masyarakat dan lembaga donor dalam dan luar
negeri yang mendukung pelaksanaan kegiatan penanggulangan gangguan penglihatan
dan kebutaan
B. KEBIJAKAN
OPERASIONAL
1. Penanggulangan
Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (PGPK) dilaksanakan:
a. Sebagai bagian
yang tidak terpisahkan, dari Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia
Sehat 2010 dan Vision 2020 – The Right to Sight
b. Melalui
pelayanan kesehatan primer yang ditunjang oleh sistem pelayanan rujukan
kesehatan indera penglihatan serta perluasan pelayanan di berbagai tingkat
c. Secara
terdesentralisasi, yang menjamin keterpaduan perencanaan dan alokasi anggaran
d. Sesuai dengan
standar pelayanan yang efisien dan efektif
e. Peningkatan
sistem pelayanan kesehatan untuk menjamin tersedianya akses terhadap pelayanan
kesehatan indera penglihatan yang berkualitas
f. Berorientasi
pada pembangunan manusia berkualitas, yang mempu menunjang kualitas kehidupan
g. Bekerjasama dengan
seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan kepedulian terhadap gangguan
penglihatan dan kebutaan
h. Partisipatif,
terkoordinasi serta sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dengan
mengembangkan strategi “milik daerah sendiri”, sehingga diharapkan dapat memaksimalkan
kualitas, pemanfaatan, dan kesinambungan kegiatan
i.
Pemberdayaan
dan penguatan semua kegiatan yang telah ada, dengan pola kerjasama kemitraan,
memaksimalkan sumber daya dan mencegah timbulanya kegiatan tumpang tindih
j.
Melibatkan
semua tenaga kesehatan dan non kesehatan terkait.
2. Penanggulangan
gangguan penglihatan dan kebutaan berupaya memperoleh alokasi sumber daya
uantuk menjamin agar pelayanan kesehatan indera penglihatan dapat dijangkau
oleh kaum miskin dan penduduk yang kurang mampu di manapun mereka berada
3. Penanggulangan
gangguan penglihatan dan kebutaan dikembangkan berdasarkan pengalaman di
lapangan
BAB II
TINJAUAN TEORI
KONSEP DASAR MEDIS
A.
Definisi
Katarak berasal
dari Yunani Katarrhakies, Inggeris Cataract, dan Latin cataracta yang berarti
air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular dimana penglihatan tertutup
air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan
pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa,
denaturasi protein lensa terjadi akibat kedua – duanya. (Sidarta Ilyas,2012).
Katarak
merupakan setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi
(penambahan cairan)lensa, denaturasi protein lensa, atau akibat kedua – duanya.
Biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progresif. (Kapita Selekta
Kedokteran,2001).
Katarak adalah
opasitas lensa kristalina yang normalnya
jernih. Biasanya terjadi akibat proses penuaan tapi dapat timbul pada saat
kelahiran (katarak congenital) ( Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8,
2001)
Katarak adalah
kekeruhan pada lensa kristalina atau kapsulnya. Keadaan ini bisa congenital,
sinilis, traumatic atau disebabkan oleh
defek metabolism, khususnya diabetes mellitus. Hard Cataract katarak
yang mengandung nucleus yang keras, cenderung berwarna gelap dan terjadi pada
orang – orag lanjut usia. Soft Cataract katarak tanpa nucleus yang keras dan
dapat terjadi pada segala usia, tetapi terutama di jumpai pada orang mudah.
Cataract biasanya terjadi perlahan – lahan dan ketika menjadi matur disebut
ripe cataract (Kamus Keperawatan Edisi 17, 1999).
B. Insiden
Paling sering terjadi pada orang
berusia lebih dari 70 tahun.
C. Epidemologi
Berdasarkan data
dari World Health Organization (WHO), katarak merupakan kelainan mata yang
menyebabkan kebutaan dan gangguan penglihatan yang paling sering ditemukan seperti pada gambar dibawah yakni:
Katarak memiliki
derajat kepadatan yang sangat bervariasi dan
dapat disebabkan oleh berbagai hal, biasanya akibat proses degenatif.
Pada penelitian yang dilakukan di amerika serikat didapatkan adanya 10% orang
menderita katarak, dan prevalensi ini meningkat sampai 50% pada mereka yang
berusia 65-75 tahun dan meningkat lagi sekitar 70% pada usia 75 tahun. Katarak
congenital, katarak traumatic dan katarak jenis jenis lain lebih jarang
ditemukan.
D. Klasifikasi
1.
Berdasarkan
pada usia, katarak dapat diklasifikasikan menjadi :
a.
Katarak Kongenital, sejak sebelum
berumur 1 tahun sudah terlihat disebabkan oleh infeksi virus yang dialami ibu
pada saat usia kehamilan masih dini.
b.
Katarak Juvenil, Katarak yang lembek dan
terdapat pada orang muda, yang mulai terbentuknya pada usia kurang dari 9 tahun
dan lebih dari 3 bulan. Katarak juvenil biasanya merupakan kelanjutan katarak
kongenital. Katarak juvenil biasanya merupakan penyulit penyakit sistemik
ataupun metabolik dan penyakit lainnya (Ilyas Sidarta,2007: Ilmu Penyakit Mata,
ed. 3)
c.
Katarak Senil, setelah usia 50 tahun
akibat penuaan. Katarak senile biasanya berkembang lambat selama beberapa
tahun, Kekeruhan lensa dengan nucleus yang mengeras akibat usia lanjut yang
biasanya mulai terjadi pada usia lebih dari 60 tahun. (Ilyas Sidarta,2007: Ilmu
Penyakit Mata, ed. 3)
2.
Berdasarkan penyebabnya, katarak dapat
dibedakan menjadi:
a.
Katarak
traumatika
Katarak terjadi akibat rudapaksa atau trauma baik karena trauma tumpul maupun tajam. Rudapaksa ini dapat mengakibatkan katarak pada satu mata ( Katarak monocular). Penyebab katarak ini antara lain karena radiasi
sinar-X, radioaktif, dan benda asing.
b.
Katarak
toksika
Merupakan katarak yang terjadi akibat adanya pajanan
dengan bahan kimia tertentu. Selain itu, katarak ini dapat juga
terjadi karena penggunaan obat seperti kortikosteroid dan chlorpromazine.
c.
Katarak
komplikata
Katarak terjadi akibat gangguan sistemik seperti diabetes mellitus, hipoparatiroidisme, atau akibat kelainan local seperti uveitis,
glaucoma, dan myopia
atau proses degenerasi pada satu mata lainnya.
3.
Berdasarkan stadium, katarak senile
dapat dibedakan menjadi:
1.
Katarak
insipient
Merupakan stadium awal katarak yaitu kekeruhan yang tida teratur. Klien
mengeluh gangguan penglihatan seperti melihat ganda pada pengihatan satu mata. Pada stadium ini, proses degenerasi belum menyerap cairan sehingga bilik mata disertai kekeruhan ringan pada lensa. Belum terjadi gangguan tajam penglihatan.
2.
Katarak
imatur
Lensa mulai menyerap cairan sehinga lensa agak cembung, menyebabkan terjadinya myopia, dan iris terdorong ke depan serta bilik mata depan menjadi dangkal. Sudut bilik mata depan dapat tertutup sehingga mungkin timbul glaucoma sekunder.
3.
Katarak
matur
Merupakan proses degenerasi lanjut lensa. Pada stadium ini, terjadi kekeruhan lensa. Tekanan cairan dalam lensa sudah dalam keadaan seimbang dengan cairan dalam mata sehingga ukuran lensa akan normal kembali. Tajam penglihatan sudah menurun dan hanya tinggal proyeksi sinar positif.
4.
Katarak
hipermatur
Pada stadium ini, terjadi proses degenerasi lanjut lensa dan
korteks lensa dapat mencair sehingga nucleus lensa tenggelam di dalam korteks lensa. Pada stadium ini, dapat juga terjadidegenerasi kapsul lensa
sehingga bahan lensa maupun korteks lensa yang cair dapat masuk ke dalam bilik mata depan. Bahan lensa dapat menutup jalan kelar cairan bilik mata depan sehingga timbul glaucoma fakolitik.
E. Etiologi
Diklasifikasikan menurut penyebab :
1.
Katarak
Senil
Perubahan
kimia di protein lensa pada pasien lansia.
2.
Katarak
Kongenital
a.
Kesalahan
metabolisme bawaan
b.
Infeksi
rubella ibu pada trimester pertama
c.
Anomali kongenital
d.
Penyebab
genetic ( biasanya dominan autosomal)
e.
Katarak
resesif dapat terpaut seks.
3.
Katarak
Traumatik
Benda asing menyebabkan humor aqueus humor atau vitreus masuk ke kapsul lensa.
4.
Katarak
komplikasi
a.
Uveitis
b.
Glaukoma
c.
Pigmentosa retinitis
d.
Ablasio
retina
e.
Diabetes
f.
Hipoparatiroidisme
g.
Dermatitis Atopik
h.
Ionisasi
radiasi atau sinar infra merah
5.
Katarak
toksik
Toksisitas obat atau zat kimia :
a.
Ergot
b.
Dinitrofenol
c.
Naftalin
d.
Fenotiazin
F.
Patofisologi
Lensa yang
normal adalah struktur posterior iris yang jernih, transparan, berbentuk
seperti kancing baju, mempunyai kekuatan refraksi yang besar. Lensa mengandung
tiga komponen anatomis. Pada zona sentral terdapat nucleus, di perifer ada
korteks, dan yang mengelilingi keduanya adalah kapsul anterior dan posterior.
Dengan
bertambahnya usia, nucleus mengalami perubahan warna menjadi coklat kekuningan.
Disekitar opasitas terdapat densitas seperti duri di anterior dan posterior
nucleus. Opasitas pada kapsul posterior merupakan bentuk katarak yang paling
bermakna Nampak seperti Kristal salju pada jendela.
Perubahan fisik
dan kimia pada lensa mengakibatkan hilangnya trasnparansi. Perubahan pada
serabut halus sekitar daerah di sekitar luar lensa, misalnya dapat menyebabkan
penglihatan menjadi distorsi. Perubahan kimia dalam protein lensa dapat
menyebabkan koagulasi, sehingga mengabutkan pandangan dengan menghambat
jalannya cahaya ke retina. Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein
lensa normal terjadi disertai influx air ke dalam lensa. Protein ini mematahkan
serabut lensa yang tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan
bahwa suatu enzim mempunyai peran dalam melindungi lensa dari degenerasi.
Jumlah enzim akan menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada
kebanyakan pasien yang menderita katarak.
Katarak biasanya
terjadi bilateral, namun sebenarnya merupakan konsekuensi dari proses penuaan
yang normal. Kebanyakan katarak berkembang secara kronik dan matang ketika
orang memasuki dekade ke tujuh. Katarak dapat bersifat congenital dan harus
diidentifikasi awal, karena bila tidak terdiagnosa dapat menyebabkan ambliopia
dan kehilangan penglihatan permanen. Faktor yang paling sering berperan dalam
terjadinya katarak meliputi radoasi sinar ultraviolet B, obat-obatan, alcohol,
merokok, diabetes dan asupan vitamin antioksidan yang kurang dalam jangka
panjang waktu lama.
G. Manifestasi
Klinik
1.
Gejala
subjektif dari pasien dengan katarak antara lain:
a.
Biasanya
klien melaporkan penurunan ketajaman penglihatan dan silau serta gangguan
fungsional yang diakibatkan oleh kehilangan penglihatan tadi.
b.
menyilaukan
dengan distorsi bayangan dan susah melihat di malam hari.
2.
Gejala
objektif biasanya meliputi:
a.
Pengembunan
seperti mutiara keabuan pada pupil sehingga retina tak akan tampak dengan
oftalmoskop. Ketika lensa sudah menjadi opak, cahaya akan dipendarkan dan
bukannya ditransmisikan dengan tajam menjadi bayangan terfokus pada retina.
Hasilnya adalah pandangan menjadi kabur atau redup.
b.
Pupil
yang normalnya hitam akan tampak abu-abu atau putih. Pengelihatan seakan-akan
melihat asap dan pupil mata seakan akan bertambah putih.
c.
Pada
akhirnya apabila katarak telah matang pupil akan tampak benar-benar putih
,sehingga refleks cahaya pada mata menjadi negatif.
3. Gejala umum gangguan katarak
meliputi:
a.
Penglihatan
tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek.
b.
Gangguan
penglihatan bisa berupa:
1)
Peka
terhadap sinar atau cahaya.
2)
Dapat
melihat dobel pada satu mata (diplobia).
3)
Memerlukan
pencahayaan yang terang untuk dapat membaca.
4)
Lensa
mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.
H. Komplikasi
1.
Kehilangan penglihatan total.
2.
Komplikasi pembedahan yang mungkin: Penurunan cairan vitreus, Dehisens luka, Hifema, Glukoma yang menyumbat pupil, Ablasio retina, Infeksi
3.
Komplikasi pasca operasi: Luka yang tidak sempurna menutup, Edema kornea, Inflamasi dan uveitis, Atonik pupil, Pupillary captured, Masalah yang berkaitan dengan IOL, Kekeruhan kapsul posterior, TASS (toxic anterior segment syndrom), Capsular bag distention syndrom, Sisa massa lensa/korteks.
I.
Penatalaksanaan
Tidak ada terapi obat untuk katarak, dan tak dapat
diambil dengan pembedahan laser. Namun masih terus dilakukan penelitian
mengenai kemajuan prosedur laser baru yang dapat digunakan untuk mencairkan
sebelum dilakukan pengisapan keluar melalui kanula (Pokalo, 1992).
Bila penglihatan dapat dikoreksi dengan dilator
pupil dan refraksi kuat sampai ke titik di mana pasien melakukan aktivitas
hidup sehari-hari, maka penanganan biasanya konservatif.
Pembedahan diindikasikan bagi mereka yang memerlukan
penglihatan akut untuk bekerja atau keamanan. Biasanya diindikasikan bila
koreksi tajam penglihatan terbaik yang dapat dicapai adalah 20/50 atau lebih
buruk lagi, bila ketajaman pandang mempengaruhi keamanan atau kualitas hidup,
atau bila visualisasi segmen posterior sangat perlu untuk mengevaluasi berbagai
perkembangan penyakit retina atau saraf optikus, seperti pada diabetes atau
glaucoma.
Pembedahan kataraka adala pembedahan yang paling
sering dilakukan pada orang berusia lebih dari 65 tahun. Masa kini, katarak
paling sering diangkat dengan anastesi local. Obat penghilang cemas dapat
diberikan untuk mengatasi perasaan klaustrofobia sehubungan dengan drapping bedah.
Anastesi umum dilakukan bagi yang tak bisa meneriva anastesi local, yang tak
mampu bekerja sama dengan alasan fisik atau psikologis atau yang tak berespon
terhadap anastesi local.
Ada dua macam teknik pembedahan tersedia untuk
pengangkatan katarak, yakni :
1.
Ekstraksi Katarak Intrakapsular ( ICCE)
Ekstraksi
katarak intrakapsular adalah pengangkatan seluruh lensa sebagai satu kesatuan.
Setelah zonula dipisahkan, lensa diangkat dengan cryoprobe yang diletakkan
secara langsung pada kapsula lentis. Bedah beku berdasar pada suhu pembekuan
untuk mengangkat suatu lesi atau abnormalitas. Ketika cryoprobe diletakkan
secara langsung paa kapsula lentis, kapsul akan melekat pada probe. Lensa
diangkat secara lembut.
2.
Ekstraksi
Katarak Ekstrakapsular (ECCE)
Ekstraksi Katarak Ekstrakapsular merupakan teknik yang paling disukai dan mencapai 98% pembedahan katarak. Prosedur ini meliputi pengambilan kapsula anterior, menekan keluar nucleus lentis, dan mengisap sisa fragmen kortikal lunak menggunakan irigasi dan alat isap. Dengan meninggalkan kapsula posterior dan zonula lentis tetap
utuh, dapat mempertahankan arsitektur bagian posterior mata, jadi mengurangi insidensi komplikasi yang serius.
Fakoemulsifikasi merupakan penemuan terbaru pada
ekstraksi ekstrakapsular. Cara ini memungkinkan lensa melalui insisi yang lebih
kecil dengan menggunakan alat ultra sound frekwensi tinggi untuk memecah
nucleus dan korteks lensa menjadi partikel kecil yang kemudian di aspirasi
melalui alat yang sama yang juga memberikan irigasi kontinus.
Kaca mata apakia
mampu memberikan pandangan
sentral yang baik. Namun pembesaran 25%
sampai 30%, menyebabkan penurunan dan distorsi pandangan perifer, yang
menyebabkan kesulitan dalam memahami relasi spasial, membuat benda-benda Nampak
jauh lebih dekat dari yang sebenarnya.
Lensa Kontak jauh
lebih aman dari kaca mata apakia. Tak terjadi pembesaran yang bermakna (5%
sampai 10%), tak terdapat abrasi sferis, tak ada penurunan lapang pandangan dan
tak ada kesalahan orientasi special. Lensa jenis ini memberikan rehabilitasi
visual yang hampir sempurna.
Implan
Lensa Intraoluler (IOL) memberikan alternative bagi lensa apakia yang tebal dan
berat untuk mengoreksi penglihatan pasca operasi.
J.
Pemeriksaan Penunjang
a.
Kartu mata snellen /mesin telebinokuler
: mungkin terganggu dengan kerusakan kornea, lensa, akueus/vitreus humor,
kesalahan refraksi, penyakit sistem saraf, penglihatan ke retina.
b.
Lapang Penglihatan : penuruan mngkin
karena massa tumor, karotis, dan glukoma.
c.
Pengukuran Tonografi : TIO (12 – 25
mmHg)
d.
Pengukuran Gonioskopi membedakan sudut
terbuka dari sudut tertutup glukoma.
e.
Tes Provokatif : menentukan adanya/ tipe
gllukoma
f.
Oftalmoskopi : mengkaji struktur
internal okuler, atrofi lempeng optik, papiledema, perdarahan.
g.
Darah lengkap, LED : menunjukkan anemi
sistemik / infeksi.
h.
EKG, kolesterol serum, lipid
i.
Tes toleransi glukosa : kotrol DM
j.
Keratometri.
K.
Prognosis
Dengan tehnik
bedah yang mutakhir, komplikasi atau penyulit menjadi sangat jarang. Hasil
pembedahan yang baik dapat mencapai 95%. Pada bedah katarak resiko ini kecil
dan jarang terjadi. Keberhasilan tanpa
komplikasi pada pembedahan dengan
ECCE atau fakoemulsifikasi
menjanjikan prognosis dalam penglihatan dapat meningkat hingga 2 garis pada
pemeriksaan dengan menggunakan snellen chart.
L. Pencegahan
Untuk memperlambat terjadinya katarak dibutuhkan
upaya mengurangi pajanan terhadap factor perusak antara lain factor factor ekstrinsik seperti factor lingkungan,
cahaya UV, Trauma, merokok, nutrisi dan sebagainya.
Beberapa hal yang dihindari untuk pencegahan katarak
adalah menghindari sinar matahari langsung, tidak merokok dan menghindari asap
rokok, mengurangi berat badan dengan berat badan orang yang berlebih,
menghindari penggunaan obat – obat steroid, menghindari makanan yang tengik dan
sumber radikal bebas lain, mengurangi asupan lemak hewan, menghindari semua
makanan yang merupakan produk akhir, menghindari minum alcohol.
Beberapa anjuran untuk pencegahan katarak melalui
nutrisi antara lain dengan mengonsumsi buah dan sayuran lebih dari 3,5 porsi
sehari, makan lebih banyak makanan yang mengandung tinggi asam amino sulfur
(lebih banyak biji – bijian dan legumens) dan menggunakan banyak bumbu dan
tumerik dan curcumin.
Mengonsumsi vitamin dan mineral yang mengandung vit.
B1, vitamin C, vitamin E, Beta Karoten, Zink, Copper dan selenium. Dosis
vitamin dan mineral diberikan dengan pengawasan dan nasehat tenaga kesehatan.
Khusus untuk pekerja, selain harus memperhatikan
pencegahan umum diatas, juga harus memperhatikan pencegahan khusus terhadap
trauma langsung yaitu ketika berada di lingkungan kerja maka pengusaha dan
pekerja perlu memperhatikan keselamatn kerja. Perlindungan mata dan wajah
diperlukan pada pekerjaan dengan kemungkinan bermacam – macam bahaya termasuk
objek yang melayang ( Serpihan Logam, batu, pasir atau kerikil dari proses
penggurindaan) semburan cairan korosif, logam cair, debu dan radiasi. Untuk
mencegah mata terkena trauma langsung diperlukan kombinasi antara peralatan
yang aman dan pelindung diri yang memadai dan atau posisi (jarak) kerja dan
pekerja.
Selain pencegahan diatas juga terdapat pencegahan
yang lain yang dapat dilakukan yaitu 80 persen kebutaan atau gangguan
penglihatan mata dapat dicegah atau dihindari. Edukasi dan promosi tentang
masalah mata dan cara mencegah gangguan kesehatan
mata. sebagai sesuatu yang tidak bisa
ditinggalkan. Usaha itu melipatkan berbagai pihak, termasuk media massa, kerja
sama pemerintah, LSM, dan Perdami.
Katarak dapat dicegah, di antaranya dengan menjaga
kadar gula darah selalu normal pada penderita
diabetes mellitus, senantiasa menjaga kesehatan mata, mengonsumsi
makanan yang dapat melindungi kelainan degeneratif pada mata dan antioksidan
seperti buah-buahan banyak yang mengandung vitamin C, minyak sayuran, sayuran
hijau, kacang-kacangan, kecambah, buncis, telur, hati dan susu yang merupakan
makanan dengan kandungan vitamin E, selenium, dan tembaga tinggi. Vitamin C dan
E dapat memperjelas penglihatan. Vitamin C dan E merupakan antioksidan yang
dapat meminimalisasi kerusakan oksidatif pada mata, sebagai salah satu penyebab
katarak. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 3.000 orang dewasa selama
lima tahun menunjukkan, orang dewasa yang mengonsumsi multivitamin atau
suplemen lain yang mengandung vitamin C dan E selama lebih dari 10 tahun, ternyata
risiko terkena katarak 60% lebih kecil Seseorang dengan konsentrasi plasma
darah yang tinggi oleh dua atau tiga jenis antioksidan ( vit C, vit E, dan karotenoid) memiliki risiko terserang katarak
lebih rendah dibandingkan orang yang konsentrasi salah satu atau lebih
antioksidannya lebih rendah.
Hasil penelitian lainnya yang dilakukan Farida
(1998-1999) menunjukkan, masyarakat yang pola makannya kurang riboflavin
(vitamin B2) berisiko lebih tinggi terserang katarak. Menurut
Farida, ribovlafin memengaruhi aktivitas enzim glutation reduktase. Enzim ini berfungsi
mendaur ulang glutation teroksidasi menjadi glutation
tereduksi, agar tetap menetralkan radikal bebas atau oksigen.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
Tahap ini merupakan tahap awal dalam proses keperawatan dan
menentukan hasil dari tahap berikutnya. Pengkajian dilakukan secara sistematis
mulai dari pengumpulan data, identifikasi dan evaulasi status kesehatan klien.
1.
Aktifitas
Istirahat: Perubahan aktifitas biasanya/hobi
sehubungan dengan gangguan penglihatan.
2.
Neurosensori:
Gangguan penglihatan kabur/tak jelas, sinar terang menyababkan silau dengan
kehilangan bertahap penglihatan perifer, kesulitan memfokuskan kerja dengan
dekat/merasa diruang gelap. Penglihatan berawan/kabur, tampak lingkaran
cahaya/pelangi di sekitar sinar, perubahan kacamata, pengobatan tidak
memperbaiki penglihatan, fotofobia (glukoma akut).
Tanda:
Tampak kecoklatan atau putih susu pada pupil (katarak), pupil menyempit dan
merah/mata keras dan kornea berawan (glukoma darurat, peningkatan air mata.
3.
Nyeri/Kenyamanan
: Ketidaknyamanan ringan/mata berair. Nyeri tiba-tiba/berat menetap atau
tekanan pada atau sekitar mata, sakit kepala
4.
Pola
aktivitas/istirahat: perubahan aktivitas biasanya/hoby sehubungan dengan gangguan
penglihatan.
5.
Pola
nutrisi: Mual/muntah (glaukoma akut)
6.
Pola
neurosensory
Gejala:
Gangguan penglihatan (kabur/tak jelas), sinar terang menyebabkan silau dengan
kehilangan bertahap penglihatan perifer,kesulitan memfokuskan kerja dengan
dekat/ merasa diruang gelap.
7.
Pola
penyuluhan/pembelajaran
Gejala:
Riwayat keluarga glaukoma, diabetes, gangguan sistem vaskuler, riwayat stress,
alergi, ketikseimbangan endokrin, terpajan pada radiasi, steroid/toksisitas
fenotiazin.
B. Diagnosa
keperawatan
1.
Risiko
tinggi terhadap cedera b/d peningkatan TIO, perdarahan intraokuler, kehilangan
vitreous
2.
Resiko tinggi terhadap infeksi b/d prosedur invasive.
3.
Gangguan
sensori persepsi perceptual b/d gangguan penerimaan sensori/status organ indra.
4.
Kurang pengetahuan tentang kondisi,
prognosis,pengobatan b/d
tidak mengenal sumber informasi, salah interpretasi informasi, kurang
terpajan/mengingat, keterbatan kognitif.
5.
Ketakutan
atau ansietas yang b/d kerusakan sensori dan kurangnya pemahaman mengenai perawatan pasca operatif, pemberian obat.
6.
Nyeri
b/d trauma, peningkatan TIO, inflamasi intervensi bedah atau pemberian tetes mata dilator.
C. Intervensi
keperawatan
1.
Diagnosa 1 : Risiko
tinggi terhadap cedera b/d peningkatan TIO, perdarahan intraokuler, kehilangan
vitreous
Tujuan : Pasien tidak mengalami perdarahan intraokuler, kehilangan
vitreous dan T
IO pasien tidak meningkat
Kriteria Hasil :
a.
Menyatakan pemahaman factor yang
terlibat dalam kemungkinan cedera
b.
Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan factor resiko dan untuk melindungi diri dari cedera.
c.
Mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan.
Intervensi :
1.
Diskusikan
apa yang terjadi pada pasca operasi tentang nyeri, pembatasan aktivitas, penampilan balutan mata.
Rasional : membantu mengurangi rasa
takut dan meningkatkan kerjasama dalam pembatasan yang diperlukan
2.
Beri
pasien posisi bersandar, kepala tinggi atau miring ke sisi yang tidak sakit sesuai keinginan.
Rasional
: Istirahat hanya beberapa menit sampai beberapa jam pada bedar rawat jalan
atau menginap semalam bila terjadi komplikasi. Menurunkan tekanan pada mata
yang sakit, meminimalkan resiko perdarahan atau stress pada jahitan/jahitan
terbuka.
3.
Batasi
aktivitas seperti menggerakkan kepala tiba – tiba, menggaruk mata, membongkok.
Rasional
: menurunkan stress pada area operasi/ menurunkan tekanan intra okular (TIO).
4.
Ambulasi dengan bantuan, berikan kamar mandi khusus bila sembuh dari anastesi.
Rasional : memerlukan sedikit regangan daripada penggunaan pispot, yang dapat
meningkatkan TIO.
5.
Dorong
napas dalam,
batuk untuk bersihan paru
Rasional : Batuk meningkatkan tekanan TIO.
6.
Anjurkan
menggunakan teknik manajemen stress
Rasional
: meningkatkan relaksasi dan koping, penurunan TIO.
7.
Pertahankan perlindungan mata sesuai indikasi
Rasional
: digunakan untuk melindungi dari cedera
8.
Minta pasien untuk memebdakan antara
ketidaknyamanan dan nyeri mata tajam tiba – tiba. Selidiki kegelisahan,
disorientasi, gangguan balutan. Observasi himefa (perdarahan pada mata) pada
mata dengan senter sesuai indikasi.
Rasional
: Ketidaknyamanan mungkin karena prosedur pembedahan, nyeri akut menunjukkan
TIO dan/atau perdarahan, terjadi karena regangan atau tidak diketahui
penyebabnya ( jaringan sembuh banyak vaskularisasi, dan kapiler sangat rentan).
9.
Observasi
pembengkakan luka, bilik anterior kemps, pupil berbentuk
buah pir.
Rasional
: menunjukan prolaps iris atau rupture luka disebabkan oleh kerusakan jahitan
atau tekanan mata.
10.
Kolaborasi
pemberian obat analgetik
Rasional: mengurangi rasa nyeri dan memudahkan kerja
sama untuk intervensi lainnya.
2.
Diagnosa
2 : Resiko
tinggi terhadap infeksi b/d prosedur invasive.
Tujuan : Pasien tidak mengalami
infeksi.
Kriteria Hasil :
a.
Meningkatkan penyembuhan luka tepat waktu, bebas drainase purulen,eritema dan edema.
b.
Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/ menurunkan risiko infeksi.
Intervensi
:
1.
Diskusikan
pentingnya cuci tangan sebelum menyentuh/mengobati mata.
Rasional : menurunkan jumlah
bakteri pada tangan, mencegah kontaminasi area operasi.
2.
Gunakan/tunjukkan
teknik yang tepat untuk membersihkan mata dari dalam ke luar dengan tisu basah/bola kapas untuk tiap
usapan, ganti balutan, dan masukan lensa kontak bila menggunkan.
Rasional :
teknik aseptic menurunkan risiko penyebaran bakteri dan kontaminasi silang.
3.
Tekankan
pentingnya tidak menyentuh/menggaruk mata yang dioperasi.
Rasional :
mencegah kontaminasi dan kerusakan sisi operasi.
4.
Observasi/diskusikan
tanda terjadinya infeksi
Rasional :
Infeksi mata terjadi 2 sampai 3 hari setelah prosedur dan memerlukan upaya
intervensi. Adanya ISK meningkatkan risiko kontaminasi silang.
5.
Kolaborasi
pemberian antibiotik
Rasional: untuk mencegah terjadinya infeksi
3.
Diagnosa
3: Gangguan sensori persepsi perceptual b/d gangguan penerimaan sensori/status organ indra.
Tujuan
: Ketajaman penglihatan meningkat
Kriteria
Hasil :
a. Meningkatkan ketajaman penglihatan dalam batas situasi individu.
b. Mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap perubahan.
c. Mengidentifikasi potensial bahaya dalam linkungan.
Intervensi :
1. Tentukan ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau kedua mata terlibat.
Rasional
: Kebutuhan individu dan pilihan intervensi bervariasi sebab kehilangan
penglihatan terjadi lambat dan progresif. Bila bilateral, tiap mata dapat
berlanjut pada laju yang berbeda, tetapi biasanya hanya satu mata diperbaiki
per prosedur.
2. Orientasikan pasien terhadap lingkungan, staf, orang
lain diareanya.
Rasional
: memberikan peningkatan kenyamanan dan kekeluargaan, menurunkan cemas dan
disorientasi pascaoperasi.
3. Observasi tanda tanda dan gejala disorientasi;
pertahankan pagar tempat tidur sampai benar benar sembuh dari anastesia.
Rasional
: Terbangun dalam lingkungan yang tidak dikenal dan mengalami keterbatasan
penglihatan dapat mengakibatkan bingung pada orang tua. Menurunkan risiko jatuh
bila pasien bingung/tak kenal ukuran tempat tidur.
4. Pendekatan dari sisi yang tak dioperasi, bicara dan menyentuh sering;
dorong orang terdekat tinggal dengan pasien.
Rasional
: memerikan rangsangan, sensori tepat terhadap isolasi dan menurunkan bingung.
5. Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur dan iritasi mata, dimana dapat terjadi bila menggunakan tetes mata.
Rasional : Gangguan penglihatan/iritasi
dapat berakhir 1 – 2 jam setelah tetesan mata tetapi secara bertahap menurun
dengan penggunaan.
6.
Ingatkan
pasien menggunakan kacamata katarak yang tujuannya memperbesar kurang lebih 25%, penglihatan perifer hilang,
dan buta titik mungkin ada.
Rasional : Perubahan ketajaman dan
kedalaman persepsi dapat menyebabkan bingung penglihatan/meningkatkan risiko
cedera sampai pasien belajar untuk mengkompensasi.
7.
Letakkan
barang yang dibutuhkan/posisi bel pemanggil dalam jangkauan pada sisi yang tidak dioperasi.
Rasional : memungkinkan pasien melihat
objek lebih mudah dan memudahkan panggilan untuk pertolongan bila diperlukan.
4.
Diagnosa
4: Kurang
pengetahuan tentang kondisi, prognosis,pengobatan berhubungan dengan tidak
mengenal sumber informasi, salah interpretasi informasi, kurang
terpajan/mengingat, keterbatan kognitif.
Tujuan
: Klien dapat mengerti tentang penyakitnya.
Kriteria
Hasil :
a. Menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan pengobatan.
b. Melakukan dengan benar prosedur dan menjelaskan alasan tindakan.
Intervensi
:
1. Kaji informasi tentang kondisi individu, prognosis, tipe
prosedur/lensa.
Rasional
: meningkatkan pemahaman dan meningkatkan kerja sama dengan program
pascaoperasi.
2. Tekankan pentingnya evaluasi perawatan rutin. Beri
tahu untuk melaporkan
penglihatan berawan.
Rasional
: Pengawasan periodik menurunkan risiko komplikasi serius.
3. Informasikan pasien untuk menghindari tetes mata yang dijual bebas.
Rasional
: Dapat bereaksi silang/campur dengan obat yang diberikan.
4. Diskusikan kemungkinan efek/interaksi antara obat mata dan masalah medis pasien. Ajarkan metode yang tepat memasukkan obat tetes untuk meminimalkan efek sistemik.
Rasional : tindakan yang benar dapat
membatasi absorpsi dalam sirkulasi sistemik, meminimalkan masalah seperti
interaksi obat dan efek sistemik tidak diinginkan.
5.
Anjurkan pasien menghindari membaca, berkedip, mengangkat berat, mengejan saat defekasi, membongkok pada panggul, meniup hidung, penggunaan sprei, bedak bubuk, Verokok
(sendiri/orang lain).
Rasional : Aktivitas yang menyebabkan
mata lelah, regang, maneuver valsalva, atau meningkatkan TIO dapat mempengaruhi
hasil bedah yang mencetuskan perdarahan.
6.
Dorong aktivitas pengalih seperti mendengar radio, berbincang - bincang, menonton televisi.
Rasional : memberikan masukan
sensori, mempertahankan rasa normalitas, melalui waktu lebih mudah bila tidak
mampu menggunakan penglihatan secara penuh.
7.
Anjurkan pasien memeriksa ke dokter tentang aktivitas seksual.
Rasional : Dapat meningkatkan TIO,
menyebabkan cedera kecelakaan pada mata.
8.
Tekankan kebutuhan untuk menggunakan kaca pelindung selama hari pembedahan/penutup mata pada malam.
Rasional : mencegah cedera
kecelakaan pada mata dan menurunkan risiko peningkatan TIO sehubungan dengan
berkedip atau posisi kepala.
9. Anjurkan pasien tidur telentang, mengatur intensitas lampu dan menggunakan kacamata gelap bila keluar/dalam ruangan terang, keramas dengan kepala belakang (bukan kedepan), batuk
dengan mulut/mata terbuka.
Rasional : mencegah cedera kecelakaan pada mata.
10. Anjurkan mengatur posisi pintu sehingga mereka terbuka atau tertutup penuh, pindahkan perabot
dari lalu lalang jalan.
Rasional
: menurunkan penglihatan perifer atau gangguan kedalaman persepsi dapat
menyebabkan pasien jalan kedalam pintu yang terbuka sebagai atau menabrak
perabot.
11. Dorong pemasukan cairan adekuat, makan berserat/kasar, gunakan pelunak feses yang dijual
bebas, bila diinginkan.
Rasional
: mempertahankan konsistensi feses untuk menghindari mengejan.
12. Indikasi
tanda/gejala memerlukan upaya evaluasi medis.
Rasional
: Intervensi dini dapat mencegah terjadinya komplikasi serius, kemungkinan
kehilangan penglihatan.
5.
Diagnose
5: Ketakutan
atau ansietas yang berhubungan dengan kerusakan sensori dan kurangnya pemahaman
mengenai perawatan pasca operatif, pemberian obat.
Tujuan : Penurunan stress
emosional, ketakutan dan depresi, penerimaan pembedahan dan pemahaman
instruksi.
Kriteria Hasil :
a.
Mengucapkan pemahaman mengenai informasi yang diterima.
b.
Memakai metode koping dan mampu untuk bersantai.
c.
Tidak
kaku atau berinteraksi dengan lingkungan
d.
Mengenali adanya keterbatasan
Intervensi :
1. Kaji derajat
dan durasi gangguan visual. Dorong percakapan untuk mengetahui keprihatinan pasien, perasaan, dan tingkat
pemahaman.
Rasional
: Informasi dapat menghilangkan ketakutan yang tidak diketahui. Mekanisme
koping dapat membantu pasien berkompromi dengan kegusaran, ketakutan, depresi,
tegang, keputusasaan, kemarahan dan penolakan.
2. Orientasikan
pasien pada lingkungan yang baru.
Rasional
: Pengenalan terhadap lingkungan membantu mengurangi ansietas dan meningkatkan
keamanan.
3.
Jelaskan
rutinitas perioperatif.
Preoperatif : Tingkat aktivitas,
pembatasan diet, obat obatan.
Intra operatif : Pentingnya berbaring
diam selama pembedahan atau member
peringatan kepada ahli bedah ketika terasa akan batuk atau akan berganti
posisi.
Pasca operasi : Pemberian posisi,
pembalutan, tingkat aktivitas, pentingnya bantuan untuk ambulasi sampai stabil
dan adekuat secara visual.
Rasional : Pasien yang telah mendapat banyak informasi
lebih mudah menerima
penanganan dan menerima intruksi.
4.
Jelaskan intervensi sedetil - detilnya, perkenalan diri anda pada
setiap interaksi, terjemahkan setiap suara asing, pergunaan sentuhan untuk membantu komunikasi verbal.
Rasional
: Pasien yang mengalami gangguan visual bergantung pada masukan indera yang
lain untuk mendapatkan informasi.
5. Dorong untuk menjalankan kebiasaan hidup sehari - hari bila mampu.
Rasional
: Perawatan diri dan kemandirian akan meningkatkan rasa sehat.
6. Dorong
partisipasi keluarga atau orang yang berarti dalam perawatan pasien.
Rasional
: Pasien mungkin tidak mampu melakukan semua tugas sehubungan dengan penanganan
dan perawatan diri.
7. Dorong
partisipasi dalam aktivitas social dan penglihatan bila memungkinkan.
Rasional
: Isolasi social dan waktu luang yang terlalu lama dapat menimbulkan perasaan
negative.
6.
Diagnosa
6: Nyeri
b/d trauma, peningkatan TIO, inflamasi intervensi bedah atau pemberian tetes
mata dilator.
Tujuan : Pengurangan nyeri dan TIO.
Kriteria Hasil:
a. Mengatakan Nyeri dan TIO berkurang.
b. Mengucapkan peningkatan rasa nyaman.
c. Mengenakan kaca mata hitam setelah meneteskan tetes mata dilator.
Intervensi :
1.
Berikan
obat untuk mengontrol
nyeri dan TIO sesuai resep.
Rasional
: Pemakaian obat sesuai resep akan mengurangi nyeri dan TIO dan meningkatkan
rasa nyaman.
2.
Kurangi
tingkat pencahayaan, cahaya diredupkan diberi tirai/kain.
Rasional
: Tingkat pencahayaan yang lebih rendah lebih nyaman setelah pembedahan.
3.
Dorongan
penggunaan kaca mata hitam pada cahaya kuat.
Rasional
:Cahaya yang kuat menyebabkan rasa tidak nyaman setelah penggunaan tetes mata
dilator.
BAB III
TINJAUAN KASUS
A.
PENGKAJIAN.
Pengkajian dilaksanakan pada
tanggal 16 Mei 2014 pukul 09.10
WITA. Dengan teknik dokumentasi, wawancara, observasi dan pemeriksaan fisik.
1.
IDENTITAS
a.
Identitas klien
Nama : Tn. L
Umur : 74 Tahun
Jenis
kelamin :
Laki - laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Zazilia No. 48 Soreang Pare-pare
Diagnosa
Medis : Os. Katarak Senil
Tgl
masuk : Senin, 12 mei 2014 pukul 11:42
Tgl
Pengkajian : 16 mei 2014
Pendidikan : Tamat SD
Status
perkawinan. : Sudah Menikah
Perawat
yang bertanggung jawab : A. Rosmeni, S.Kep,Ns.
b.
Identitas penanggung jawab
Nama : Ny. C
Jenis
Kelamin : Perempuan
Alamat :
Jl. Zazilia No. 48 Soreang Pare-pare
Agama : Islam
Hubungan
dengan Klien : Istri
2.
KELUHAN UTAMA
a.
Keluhan saat masuk : Cemas
b.
Keluhan saat dikaji : Nyeri kepala
c.
Riwayat keluhan utama :
Klien
masuk RS dengan keluhan cemas . Pada saat dikaji klien mengatakan kadang
mengalami nyeri kepala. Klien mengatakan
nyeri dirasakan hilang timbul. Klien mengatakan nyeri sering timbul pada malam
hari. Lokasi nyeri pada daerah kepala. Nyeri dirasakan klien tidak mengganggu
aktivitas. Nyeri dirasakan sejak dua
hari yang lalu ( tgl 14 mei 2014
).
3.
RIWAYAT KESEHATAN MASA LALU
a.
Klien mengatakan sebelumnya pernah
dioperasi di RS. Andi makkasau pare – pare dengan penyakit katarak pada mata
sebelah kanan
b.
Klien tidak alergi obat, makanan ataupun
zat-zat lain.
c.
Klien mengatakan pernah terkena percikan
las pada mata sebelah kanan
d.
Tidak ada riwayat ketergantungan obat
(ALKOHOL )
4.
KEADAAN KESEHATAN UMUM
a.
Status kesehatan
Klien tampak lemah, ekspresi wajah
dan penampilan sesuai dengan usia. Klien tampak gelisah.
b.
Pemeriksaan Antropometri
BB sekarang : 54 kg
c.
Vital Sign
TD : 130/60
mmHg
N : 76x /
menit
S : 36°
C
P : 12 x
/ menit
d.
PEMERIKSAAN FISIK
1)
Keadaan kulit
a)
Inspeksi: Warna kulit secara umum cokelat, Kulit nampak keriput, Kulit tidak sianosis, Tidak tampak adanya luka
b)
Palpasi: Turgor kulit jelek, Kulit kering
2)
Kepala dan leher
a)
Kepala
Inspeksi: Distribusi rambut tidak merata, Rambut tampak beruban, Tidak tampak adanya ketombe
b)
Mata
i.
Inspeksi: Konjungtiva anemis, Sclera tidak ikterus, Sclera pada mata sinistra tampak
kemerahan, Reaksi
pupil ishokor
ii.
Palpasi: Tidak terdapat ptosis, Tidak terdapat nyeri tekan
pada
mata kiri
c)
Telinga
i. Inspeksi: Tidak terdapat otore, Klien tidak menggunakan alat bantu
pendengaran, Fungsi
pendengaran kurang baik,
Tidak
terdapat tanda-tanda infeksi
ii. Palpasi: Tidak terdapat nyeri tekan pada
daerah tragus, Tidak
terdapat benjolan pada daerah sekitar telinga
d) Hidung
dan sinus
i.
Inspeksi: Tidak
terdapat peradangan, Tidak
terdapat perdarahan pada hidung,
Tidak
terdapat polip, Hidung
tampak simetris
ii.
Palpasi: Tidak terdapat nyeri tekan pada
hidung
e)
Mulut dan tenggorokan
i.
Inspeksi: Mulut berwarna hitam, Mulut pecah – pecah (kering), Gigi Nampak kurang bersih dan
berwarna kuning, Karies
gigi, Lidah
tampak berwarna putih,
Terdapat
peradangan gusi, Struktur
gigi tidak lengkap
3)
Dada dan Paru-Paru
Inspeksi : Frekuensi pernapasan 12 x / menit, Irama pernapasan reguler, Pengembangan dada seirama dengan
pernapasan
4)
Abdomen
Inspeksi: Kulit cokelat dan tampak keriput
5) STATUS
NEUROLOGIS
Tingkat kesadaran
komposmentis , Koordinasi
klien baik, tidak terjadi gangguan keseimbangan, Klien mampu mengingat
kejadian-kejadian masa lampau,
Orientasi
baik, klien dapat membedakan waktu, tempat, dan orang.
6)
POLA INTERAKSI SOSIAL
Klien nampak pendiam.
5.
Data Penunjang
a.
Cepadroxil 3x1
b.
Asam mefenamat 3x1
c.
Glaucom 2x1
d.
Ranitidin 2x1
e.
Amlodipin 2x1
PENGUMPULAN
DATA
§ Kien
mengatakan kadang mengalami nyeri kepala
§ Vital
sign :
TD : 130/60 mmHg
N : 76 x/m
P : 12 x/m
S : 36°C
§ Klien
mengatakan nyeri dirasakan hilang timbul
§ Klien
mengatakan nyeri sering timbul pada malam hari
§ Klien
mengatakan pernah operasi sebelumnya
§ Klien
mengatakan tidak tahu tentang penyakitnya.
§ Klien
mengatakan tidak nyeri lagi pada mata.
§ Klien
nampak cemas
§ Klien
Nampak gelisah
§ Klien
Nampak berhati hati saat berjalan
§ Klien
Nampak pendiam
§ BB
:54 kg
DATA
FOKUS
DATA
SUBJEKTIF
|
DATA
OBJEKTIF
|
§ Kien
mengatakan kadang mengalami nyeri
kepala
§ Klien
mengatakan nyeri dirasakan hilang timbul
§ Klien
mengatakan nyeri sering timbul pada malam hari
§ Klien
mengatakan pernah operasi sebelumnya
§ Klien
mengatakan tidak nyeri lagi pada mata.
§ Klien
mengatakan tidak mengerti tentang penyakitnya.
|
§ Klien
nampak cemas
§ Klien
Nampak gelisah
§ Klien
Nampak berhati hati saat berjalan
§ Klien
Nampak pendiam
§ BB
:54 kg
§ Vital
sign :
TD : 130/60 mmHg
N : 76 x/m
P : 12 x/m
S : 36°C
|
ANALISA DATA
NO
|
SYNDROM
|
ETIOLOGI
|
PROBLEM
|
1
|
§ DS
: Kien mengatakan kadang mengalami
nyeri kepala
§ Klien
mengatakan nyeri dirasakan hilang timbul
§ Klien
mengatakan nyeri sering timbul pada malam hari
§ Klien
mengatakan tidak nyeri lagi pada mata.
DO :
§ Vital
sign :
TD
: 130/60
mmHg
N : 76x/menit
P : 12x/menit
S : 36° C
|
atau pengangkatan
lensa
tindakan
invasiv/insisi kornea
merangsang saraf
sensoris
trigemineal (SO
V)
proses: transduksi
transmisi, modulasi
Persepsi.
Nyeri
|
1. Nyeri
|
2
|
DS :
§ Klien
mengatakan tidak mengerti tentang penyakitnya.
DO :
§ Klien
tampak gelisah.
§ Klien
Nampak berhati hati saat berjalan
§ Klien
Nampak pendiam
|
atau pengangkatan
lensa
Kurang informasi
/misinterpretasi
ttg penyakit,
pengobatan & prognosis
klien sering
bertanya ttg penyakitnya
kurang
pengetahuan
|
Kurang pengetahuan
|
BAB IV
PEMBAHASAN
A. DIAGNOSA
KEPERAWATAN
1.
Nyeri
b/d trauma, peningkatan TIO, inflamasi intervensi bedah atau pemberian tetes mata dilator.
2.
Kurang pengetahuan tentang kondisi,
prognosis,pengobatan b/d
tidak mengenal sumber informasi, salah interpretasi informasi, kurang
terpajan/mengingat, keterbatan kognitif.
B. INTERVENSI
KEPERAWATAN
1.
Kurang pengetahuan tentang kondisi,
prognosis,pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi, salah
interpretasi informasi, kurang terpajan/mengingat, keterbatan kognitif.
Tujuan
: Klien dapat mengerti tentang penyakitnya.
Kriteria
Hasil :
a.
Menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan pengobatan.
b.
Melakukan dengan benar prosedur dan menjelaskan alasan tindakan.
Intervensi
:
1.
Kaji
informasi tentang kondisi individu, prognosis, tipe
prosedur/lensa.
Rasional
: meningkatkan pemahaman dan meningkatkan kerja sama dengan program
pascaoperasi.
2.
Tekankan
pentingnya evaluasi perawatan rutin. Beri tahu untuk melaporkan penglihatan berawan.
Rasional
: Pengawasan periodik menurunkan risiko komplikasi serius.
3.
Informasikan pasien untuk menghindari tetes mata yang dijual bebas.
Rasional
: Dapat bereaksi silang/campur dengan obat yang diberikan.
4.
Diskusikan
kemungkinan efek/interaksi antara obat mata dan masalah medis pasien. Ajarkan metode yang tepat memasukkan obat tetes untuk meminimalkan efek sistemik.
Rasional : tindakan yang benar dapat
membatasi absorpsi dalam sirkulasi sistemik, meminimalkan masalah seperti
interaksi obat dan efek sistemik tidak diinginkan.
5.
Anjurkan pasien menghindari membaca, berkedip, mengangkat berat, mengejan saat defekasi, membongkok pada panggul, meniup hidung, penggunaan sprei, bedak bubuk, Verokok
(sendiri/orang lain).
Rasional : Aktivitas yang menyebabkan
mata lelah, regang, maneuver valsalva, atau meningkatkan TIO dapat mempengaruhi
hasil bedah yang mencetuskan perdarahan.
6.
Dorong
aktivitas pengalih seperti mendengar radio, berbincang - bincang, menonton televisi.
Rasional : memberikan masukan
sensori, mempertahankan rasa normalitas, melalui waktu lebih mudah bila tidak
mampu menggunakan penglihatan secara penuh.
7.
Anjurkan
pasien memeriksa ke dokter tentang aktivitas seksual.
Rasional : Dapat meningkatkan TIO,
menyebabkan cedera kecelakaan pada mata.
8.
Tekankan
kebutuhan untuk menggunakan kaca pelindung selama hari pembedahan/penutup mata pada malam.
Rasional : mencegah cedera
kecelakaan pada mata dan menurunkan risiko peningkatan TIO sehubungan dengan
berkedip atau posisi kepala.
9.
Anjurkan
pasien tidur telentang, mengatur intensitas lampu dan menggunakan kacamata gelap bila keluar/dalam ruangan terang, keramas dengan kepala belakang (bukan kedepan), batuk
dengan mulut/mata terbuka.
Rasional : mencegah cedera kecelakaan pada mata.
10. Anjurkan mengatur posisi pintu sehingga mereka terbuka atau tertutup penuh, pindahkan perabot
dari lalu lalang jalan.
Rasional
: menurunkan penglihatan perifer atau gangguan kedalaman persepsi dapat
menyebabkan pasien jalan kedalam pintu yang terbuka sebagai atau menabrak
perabot.
11. Dorong pemasukan cairan adekuat, makan berserat/kasar, gunakan pelunak feses yang dijual bebas, bila
diinginkan.
Rasional
: mempertahankan konsistensi feses untuk menghindari mengejan.
12. Indikasi
tanda/gejala memerlukan upaya evaluasi medis.
Rasional
: Intervensi dini dapat mencegah terjadinya komplikasi serius, kemungkinan
kehilangan penglihatan.
2.
Nyeri b/d trauma, peningkatan TIO,
inflamasi intervensi bedah atau pemberian tetes mata dilator.
Tujuan : Pengurangan nyeri dan TIO.
Kriteria Hasil:
a. Mengatakan Nyeri dan TIO berkurang.
b. Mengucapkan peningkatan rasa nyaman.
c. Mengenakan kaca mata hitam setelah meneteskan tetes mata dilator.
Intervensi :
1.
Berikan
obat untuk mengontrol
nyeri dan TIO sesuai resep.
Rasional
: Pemakaian obat sesuai resep akan mengurangi nyeri dan TIO dan meningkatkan
rasa nyaman.
2.
Kurangi
tingkat pencahayaan, cahaya diredupkan diberi tirai/kain.
Rasional
: Tingkat pencahayaan yang lebih rendah lebih nyaman setelah pembedahan.
3.
Dorongan
penggunaan kaca mata hitam pada cahaya kuat.
Rasional
:Cahaya yang kuat menyebabkan rasa tidak nyaman setelah penggunaan tetes mata
dilator.
C. PERBANDINGAN
TEORI INTERVENSI DAN RASIONALITAS LAPANGAN
Antara teori intervensi dengan rasional di lapangan
ditemukan sesuai teori bahwa setiap melakukan tindakan memperhatikan standar
operasi yang ada di rumah sakit dan saat memberikan asuhan keperawatan tetap
memperhatikan prinsip sterilisasi.
BAB V
PENUTUP
BAB
V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Katarak adalah opasitas lensa kristalina yang normalnya jernih.
Biasanya terjadi akibat proses penuaan tapi dapat timbul pada saat kelahiran
(katarak kongenital). Katarak dapat diklasifikasikan berdasarkan usia dibagi
menjadi Katarak congenital, Katarak juvenile, dan Katarak senile. Sedangkan jika berdasrakan
penyebabnya, katarak dapat diklasifikasikan menjadi Katarak
komplikata, Katarak toksika dan Katarak traumatika. Dan dapat disebabkan oleh
beberapa hal diantaranya adalah
Perubahan kimia di protein lensa pada pasien lansia, Kesalahan
metabolisme bawaan, Benda asing menyebabkan humor aqueus humor atau vitreus
masuk ke kapsul lensa, Glaukoma, dan
Diabetes.
Prevalensi katarak di daerah pedesaan lebih tinggi
jika dibandingkan daerah perkotaan. Berdasarkan tingkat pengeluaran perkapita,
didapatkan persentasi katarak meningkat pada responden dengan tingkat
pengeluaran yang rendah dibandingkan tingkat pengeluaran yang tinggi.
Beberapa hal yang dihindari untuk pencegahan katarak
adalah menghindari sinar matahari langsung, tidak merokok dan menghindari asap
rokok, mengurangi berat badan dengan berat badan orang yang berlebih,
menghindari penggunaan obat – obat steroid, menghindari makanan yang tengik dan
sumber radikal bebas lain, mengurangi asupan lemak hewan, menghindari semua
makanan yang merupakan produk akhir, menghindari minum alcohol.
B.
Saran
Dengan melihat tingginya prevalensi katarak di
pedesaan dari pada di perkotaan, maka sebagai petugas kesehatan harus lebih meningkatkan
upaya pencegahan terhadap penyakit khususnya katarak melalui promosi kesehatan
dan memberikan motivasi kepada masyarakat agar lebih memperhatikan kesehatannya dan bagi pemerintah agar dapat menyediakan
fasilitas kesehatan pada daerah yang sulit menjangkau tempat pelayanan
kesehatan. Sehingga dapat mengurangi prevalensi dari katarak itu sendiri.
lanto dg pasewang jeneponto
A. Gambaran
Umum
Rumah
Sakit Umum Daerah Lanto Dg. Pasewang merupakan salah satu sarana pelayanan
kesehatan dengan standar pelayanan dasar dalam rujukan ditingkat Kabupaten
Jeneponto, yang saat ini masih berstatus
Type C. Rumah Sakit Umum Daerah Lanto Dg. Pasewang dibangun diatas lahan
seluas 2,0 Ha dan diresmikan penggunaannya oleh Menteri Kesehatan DR.ADHYATMA M.P.H. pada tanggal 18
Januari 1990. Struktur organisasi Rumah Sakit Umum Daerah Lanto Dg. Pasewang
mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten Jeneponto No 4 Tahun 2008, tanggal 7
Nopember 2008.
Letak
Geografis Rumah Sakit Umum Daerah Lanto Dg. Pasewang Kabupaten Jeneponto
terletak pada :
1.
Sebelah utara : Kabupaten Gowa dan Takalar
2. Sebelah
timur : Kabupaten Bantaeng
3. Sebelah
selatan : Laut Flores
4. Sebelah
barat : Kabupaten Takalar
B. Sarana
dan prasarana
1.
Fisik
Bangunan
Luas Tanah RSUD Lanto Dg. Pasewang : 2,0 Ha
Luas Bangunan Yang ada : 2,0 Ha
Bangunan yang ada saat ini meliputi:
a.
Bangunan
Kantor :
1 Unit
b.
Instalasi
Rawat Jalan terdiri dari:
1)
Poliklinik
Umum : 1 Unit
2)
Poliklinik
Interna : 1
Unit
3)
Poliklinik
Bedah : 1 Unit
4)
Poliklinik
Anak :
1 Unit
5)
Poliklinik
Kandungan : 1 Unit
6)
Poliklinik Gigi dan Mulut : 1 Unit
7)
Poliklinik / Konsultasi gizi : 1 Unit
8)
Poliklinik Rehabilitasi Medik : 1 Unit
9)
Poliklinik THT : 1 Unit
10) Poliklinik
Mata :
1 Unit
11) Poliklinik
Kulit & Kelamin :
1 Unit
12) Poliklinik
Jiwa :
1 Unit
c. Instalasi
Rawat Inap
Instalasi rawat inap terdiri dari :
1)
Perawatan
lontara I : 1 Unit
2)
Perawatan
Lontara II : 2 Unit
3)
Perawatan
Lontara III :
1 Unit
4)
VIP : 1 Unit
5)
ICU : 1 Unit
6)
RPK
(Ruang Perawatan Khusus : 1 Unit
d.
Instalasi
Gawat Darurat ( IGD ) terdiri dari:
1)
Bedah : 1 Unit
2)
Non
Bedah : 1 Unit
e.
Pelayanan
penunjang medik
terdiri dari:
1)
Instalasi
Radiologi : 1 Unit
2)
Instalasi
Laboratorium : 1 Unit
3)
Instalasi
Farmasi : 1 Unit
4)
Instalasi
Gizi : 1 Unit
5)
Instalasi IPSRS : 1 Unit
6)
Instalasi pengolahan air limbah : 1 Unit
2.
Kapasitas tempat tidur sebanyak 185
terdiri dari :
a.Perawatan lontara I : 30 TT
b.
Perawatan lontara II : 76 TT
c.Perawtan lontara III : 49 TT
d.
VIP :
13 TT
e.ICU :
11 TT
f. Ruang
Perawatan Khusus(RPK) : 6 TT